DUKA PAK ABDURAHMAN SI PENJUAL KORAN

Sahabatku...sekali waktu, cobalah kita perhatikan tubuh kita yg terlihat dari ujung rambut hingga ujung kaki, betapa sempurnanya Allah menciptakan kita. Andai salah satu saja bagian tubuh kita tidak ada, betapa rumitnya hidup yang akan kita hadapi kendati pun kita tetap mampu bertahan hidup tanpa salah satu bagian tubuh kita. Bersyukur kita yang diberi anugerah oleb Allah dengan anggota badan yang lengkap. Bersyukur kita yang diberi Allah dengan rizki lebih. Bersyukur kita kepada Allh yang memberi pekerjaan yang baik. Tapi tidak untuk Pak Abdurahman. Segala keterbatasan telah menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari, akibat dari kanker yang dideritanya beliau harus rela kehilangan hidung. Penghasilannya sebagai seorang penjual koran di pompa bensin di daerah Kasablanka, Jakarta Selatan hanya cukup untuk sekedar makan sehari-hari. Namun demikian, dengan segala keterbatasannya itu tidak menjadikan Pak Abdurahman mempunyai niat untuk menjadi pengemis atau peminta-minta. Tidak.! Baginya bekerja adalah wajib hukumnya. Tak peduli berapapun riski yang didapatkan. Bersyukur karena ia sering mendapatkan uang lebih dari mereka yang membeli koran dan merelakan uang kembalian. Namun begitu menjelang lebaran ini Pak Abdurahman berharap dapat membelikan baju baru dan ketupat lebaran buat keluarganya. Syukur-syukur ada uang lebih untuk ia bisa kembali berobat. Hidungnya yang sumbing dan hanya ditutup dengan plester membuat orang menjadi tidak tega untuk memandangnya. Sahabat..yuk lakukan kabaikan meskipun orang lain tak membalasnya dengan hal serupa. Kita niatkan segala kabaikan hanya untuk menggapai ridho Allah semata. Untuk sahabat yang Allah lebihkan rezekinya, silakan bila ingin membantu bisa transfer melalu rekening milik pengelola Musholla BCA UBKK Wisma Pondok Indah No. 035-611 2622 atas nama Eko Supriyanto. Dalam salah satu foto Pak Abdurahman berdampingan dengan Sdr. Arief Fauzi (Benzo), salah seorang aktifis di komunitas Pengajian Al`Quran Learning Musholla BCA UBKK Wisma Pondok Indah, Jakarta Selatan. Contact Person: 0816811330 (joko) atau 08990773322 (eko) MULIA KITA DENGAN MEMBERI, ABADIKAN HARTA KITA DENGAN SEDEKAH, TAK AKAN JATUH MISKIN ORANG YANG BERSEDEKAH, DAN TAK AKAN TAMBAH KAYA ORANG YANG MENAHAN HARTANYA RAMADHAN, SAATNYA MENGUMPULKAN BEKAL BUKAN MENAMBAH BEBAN, AYO KITA BORONG SELURUH AMAL SHOLEH DI BULAN MULIA INI Sekecil apapun bantuan Anda sangat berarti buat pak Abdurahman, semoga kerelaan Anda akan meringankan beban penderitaanNya

Sabtu, 25 April 2009

Sebuah agama baru


Alhamdulillah perjalanan panjang hari ini telah usai. Diawali dari subuh hari tadi jemput Estu di asramanya di Anyer sana. Sesuai janji mamanya, hari ini langsung cari laptop seperti yang sudah jauh-jauh hari dimintanya. Tugas sekolah sudah semakin banyak katanya. OK, hari ini kita coba cari, mudah-mudahan dapat ya Nak..
Sekalian lewat, kita coba dulu di WTC Matahari, Serpong. Rupanya tidak banyak pilihan. Setelah muter sana-sini tidak juga didapat (aku dan mamanya kebetulan juga ada perlu yang lain), kita putuskan untuk ke Point Square, Lebak Bulus. Mestinya di sana lebih banyak pilihan.
Sore, sepulang dari Point Square, mampir dulu makan siang, ah tepatnya makan sore, di warung soto Bu Tjondro di Pondok Cabe. Satu tujuan sudah terpenuhi yaitu beli laptop buat Estu, anakku. Setelah akhirnya satu pilihan dijatuhkan, Acer. Satu laptop lagi, juga Acer dengan spesifikasi lebih rendah dan harga yang tidak terlalu mahal buat Dinda, adiknya Estu. (Sejujurnya, justru Dinda yang sudah lebih dulu minta dibelikan laptop. Dia tabung lima ratus koin atau seribu rupiah ke celengannya, katanya supaya bisa beli laptop).
Di Bu Tjondro cukup ramai juga rupanya. Alhamdulillah, masih kebagian tempat parkir. Sudah lama tidak berkunjung, tidak ada yang berubah, selalu ramai. Hampir di setiap sudut tempat duduk terisi pengujung. Mamanya Estu memilih tempat di belakang tangga besar. Kita ke sana. Lebih sepi, lebih leluasa. Tentu lebih nyaman.
Orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Semua orang begitu. Seperti halnya sepasang suami istri (karena seperti terlihat demikian) yang duduk tidak jauh dari kami. Masing-masing sudah menghadapi semangkok soto di depan tempat duduk mereka. Aha, masih utuh. Belum disentuh. Rupanya masing-masing sibuk dengan blackberry di tangan mereka. Ya, facebook tentu saja. Berhadap-hadapan, tetapi ternyata mereka berjauhan. Asyik dengan dunianya sendiri-sendiri. Asyik dengan kitab suci masing-masing. Lupa bahwa bisa jadi semangkok soto di depan mereka akan menjadi dingin dan tidak lagi lezat terasa.
Facebook, kini telah menjadi agama baru banyak orang. Ke sana kemari orang-orang asyik menderas beberapa surat dari kitab suci di tangan mereka ini, blackberry. Bahkan seringkali menciptakan beberapa surat-surat baru, beberapa ayat. Bahkan beratus-ratus ayat. Kadang pendek. Lebih pendek dari surat Al Asr. Kadang panjang, sepanjang surat Al Baqarah atau An Nisa.
Sama, seperti halnya aku saat ini. Walau pun tidak sesering pagi, siang, sore dan malam, tapi sesungguhnya sudah cukup membuat aku malu. Karena kitab suci sejatiku, tidak sesering ini aku membukanya. Bahkan mungkin tidak setiap hari. Ah, mudah-mudahan, ini hanya trend sesaat saja. Sekedar aku mengikuti dan menyesuaikan diri dengan yang lain. Mudah-mudahan.

Jumat, 24 April 2009

Sesuatu yang hilang




Empat hari beraktifitas di Ciloto, Puncak, begitu melelahkan. Walau begitu, banyak hal hal yang bisa dibawa pulang. Bukan. Bukan itu. Bukan pisang, bukan gemblong, atau umbi cilembu.. Bukan yang seperti itu.
Sesuatu itu adalah belajar lebih mengenal diri sendiri. Juga kebersamaan dan keterikatan. Rasa saling ketergantungan. Semakin besar tujuan yang kita ingin peroleh, maka ternyata semakin dirasa pentingnya perencanaan, strategi, kesalingpercayaan, keinginan kuat untuk memberi yang terbaik. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah belajar untuk mengalahkan ego yang ada dalam diri kita sendiri. Juga kesabaran. Pengendalian emosi. Jujur saja, semua itu ternyata tidaklah mudah.
Hari ini kita semua membawa pulang oleh-oleh itu. Sebagian mungkin akan awet dan menjadi bagian dari diri kita. Sebagian lagi, mungkin, akan berlalu begitu saja. Tidak berarti apapun. Tidak satu pun tersisa. Menjadi seperti hari-hari kemarin. Tidak lebih.
Empat hari di Ciloto, ada sesuatu yang hilang. Dia adalah suara Pak Nur Rohim. Muadzin yang selalu pertama kali mengumandangkan adzan di kala subuh menjelang.

Selamat berjuang kawan. Perjalanan belum usai.