DUKA PAK ABDURAHMAN SI PENJUAL KORAN

Sahabatku...sekali waktu, cobalah kita perhatikan tubuh kita yg terlihat dari ujung rambut hingga ujung kaki, betapa sempurnanya Allah menciptakan kita. Andai salah satu saja bagian tubuh kita tidak ada, betapa rumitnya hidup yang akan kita hadapi kendati pun kita tetap mampu bertahan hidup tanpa salah satu bagian tubuh kita. Bersyukur kita yang diberi anugerah oleb Allah dengan anggota badan yang lengkap. Bersyukur kita yang diberi Allah dengan rizki lebih. Bersyukur kita kepada Allh yang memberi pekerjaan yang baik. Tapi tidak untuk Pak Abdurahman. Segala keterbatasan telah menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari, akibat dari kanker yang dideritanya beliau harus rela kehilangan hidung. Penghasilannya sebagai seorang penjual koran di pompa bensin di daerah Kasablanka, Jakarta Selatan hanya cukup untuk sekedar makan sehari-hari. Namun demikian, dengan segala keterbatasannya itu tidak menjadikan Pak Abdurahman mempunyai niat untuk menjadi pengemis atau peminta-minta. Tidak.! Baginya bekerja adalah wajib hukumnya. Tak peduli berapapun riski yang didapatkan. Bersyukur karena ia sering mendapatkan uang lebih dari mereka yang membeli koran dan merelakan uang kembalian. Namun begitu menjelang lebaran ini Pak Abdurahman berharap dapat membelikan baju baru dan ketupat lebaran buat keluarganya. Syukur-syukur ada uang lebih untuk ia bisa kembali berobat. Hidungnya yang sumbing dan hanya ditutup dengan plester membuat orang menjadi tidak tega untuk memandangnya. Sahabat..yuk lakukan kabaikan meskipun orang lain tak membalasnya dengan hal serupa. Kita niatkan segala kabaikan hanya untuk menggapai ridho Allah semata. Untuk sahabat yang Allah lebihkan rezekinya, silakan bila ingin membantu bisa transfer melalu rekening milik pengelola Musholla BCA UBKK Wisma Pondok Indah No. 035-611 2622 atas nama Eko Supriyanto. Dalam salah satu foto Pak Abdurahman berdampingan dengan Sdr. Arief Fauzi (Benzo), salah seorang aktifis di komunitas Pengajian Al`Quran Learning Musholla BCA UBKK Wisma Pondok Indah, Jakarta Selatan. Contact Person: 0816811330 (joko) atau 08990773322 (eko) MULIA KITA DENGAN MEMBERI, ABADIKAN HARTA KITA DENGAN SEDEKAH, TAK AKAN JATUH MISKIN ORANG YANG BERSEDEKAH, DAN TAK AKAN TAMBAH KAYA ORANG YANG MENAHAN HARTANYA RAMADHAN, SAATNYA MENGUMPULKAN BEKAL BUKAN MENAMBAH BEBAN, AYO KITA BORONG SELURUH AMAL SHOLEH DI BULAN MULIA INI Sekecil apapun bantuan Anda sangat berarti buat pak Abdurahman, semoga kerelaan Anda akan meringankan beban penderitaanNya

Rabu, 17 Juni 2009

Pengakuan Gudam Garang


Namaku Gudam Garang. Panggil saja Gudam. Umurku 50 tahun lebih. Bisnisku membunuh. Ya, membunuh. Membunuh orang. Aku tidak sendirian. Jaringanku sangat luas. Istriku, Milda Soemparna, adalah partner utamaku. Mertuaku, Emha Soemparna, cukup lama mendidiknya untuk menguasai bisnis ini. Bisnis membunuh.

Di bisnis ini aku punya banyak pesaing yang sekaligus menjadi kolega. Sebut saja Djuram Koclat, Boentel Briu, dan Djoe Samsi. Mereka ini orang-orang lama yang sudah sangat menguasai medan. Bersama-sama kami membentuk kartel yang bisa menentukan bisnis ini. Ya, kartel. Karena dalam bisnis ini butuh banyak bahan baku untuk membuat racun yang disebut korok dari tanaman bernama mbetakau. Kamilah yang menentukan harga beli, kami juga yang menentukan mutu daun mbetakau ini. Semua kami yang menentukan. Petani, biarlah mereka menderita dengan mimpi dan harapan agar harga daun mbetakau bisa setinggi langit.

Meski bisnisku membunuh, namun tidak seorangpun pernah menuntutku. Semua birokrat sudah aku kuasai. Bupati, Gubernur, Menteri. Semua. Mereka semua teman-temanku. Mereka tidak akan pernah menggangguku. Bahkan presiden pun tidak akan. Tidak akan pernah. Di mata mereka aku adalah dermawan. Aku adalah pahlawan. Mau bikin even apa saja mereka akan mencariku. Liga sepak bola, basket, tinju atau apa sajalah. Semua kegiatan olah raga bisa aku sponsori. Orang selalu berfikir bahwa aku sangat berjasa dalam menyehatkan bangsa ini. Juga konser-konser besar. Pasti ada campur tanganku di situ. Paling tidak pasti ada kolegaku.

Tentang bisnisku, sesungguhnya ini memang keahlian turun temurun. Orangtuaku mengajariku meracik dan mengemas sedemikian rupa sehingga orang-orang akan menyukai racun yang aku buat itu. Tak lupa aku mesti pasang iklan sangat gencar. Besar-besaran. Bahkan untuk biaya iklan ini aku rela menghabiskan uang milyaran rupiah. Tidak masalah. Karena keuntungan sudah menunggu di depan mata. Tidak dalam tempo lama keuntungan yang akan aku raih bisa berpuluh-puluh kali lipat. Bahkan ribuan kali lipat. Dan orang-orang tidak pernah merasa bahwa secara pelan-pelan aku telah membunuh ayah mereka, saudara mereka, anak-anak mereka. Mereka tidak akan pernah menyadari, karena yang mereka tahu keluarga yang sakit dan kemudian meninggal itu hanya karena sakit jantung, paru-paru, atau kanker. Mereka tidak pernah tahu akulah yang telah meracuni mereka.

Bahkan dari bisnis membunuh orang pun aku bisa menjadi orang kaya. Saat ini aku dan Djuram masih menjadi orang terkaya di negeri ini. Sementara di mata orang-orang, aku adalah pahlawan yang sangat berjasa memakmurkan negeri ini. Sesungguhnyalah aku adalah pembunuh berdarah dingin.

Namaku Gudam. Ya, aku Gudam Garang. Aku si pembunuh itu.

Namaku Don

Aku lahir sekitar 45 tahun lalu di sebuah desa di Tembarak. Tidak perlu aku sebutkan nama desaku. Tidak terlalu penting. Sebut saja aku Don, itu lebih penting Lengkapnya Sudono bin Juanto.

Bapakku lurah. Kakekku juga. Walaupun orang-orang di kota yang suka sok membuat aturan maunya menyebut Bapakku sebagai kepala desa, tetapi semua warga desa menyebut Bapakku dengan Pak Lurah. Jadi Bapakku adalah Pak Lurah untuk warganya. Persetan dengan peraturan orang-orang kota itu.

Namaku Don. Panggil saja aku begitu.
Sebenarnya namaku panjang, Sudhono Wisnu Murti Bayu Kartiko Aji bin Juanto. Tidak penting. Setidaknya buatku. Dari kecil orang tua dan teman-temanku memanggilku Dhono atau Dhon. Aku lebih suka menulisnya Don. Teman kecilku banyak. Dari dulu aku selalu menjadi pemimpin. Bahkan anak-anak yang lebih tua pun selalu menurut, juga yang sebaya, apalagi yang lebih muda. Pendeknya aku mau pergi kemana atau mau main apa, mereka semua pasti mengikuti. Makanya beberapa orangtua menganggapku sebagai pemimpin anak nakal. Ah, aku tidak peduli.

Namaku Don. Aku si bintang kelas.
Dari SD, SMP, hingga SMA aku selalu menjadi bintang kelas. Hanya ketika di SMA aku sedikit kesulitan. Aku punya masalah dengan rasa percaya diriku. Aku sangat minder.
Aku sekolah di SMA paling faforit di Temanggung, dan ternyata aku mati gaya. Pada awal sekolah, aku sering menjadi bahan tertawaan teman-teman sekolahku karena tidak bisa menyesuaikan dengan gaya dan kehidupan kota. Aku menjadi terganggu. Dan ini sangat membebaniku.

Namaku Don. Aku jatuh cinta.
Di tahun terakhir sekolahku di SMA, ada anak kelas satu yang cantik sekali. Namanya Diah. Ternyata dia anak bupati. Aduh, kenapa aku jatuh cinta. Walau Bapakku orang yang paling terpandang di desaku, tapi anak bupati... ah, bermimpi pun tidak berani. Aku tidak pernah berani menyapanya, hanya curi-curi pandang setiap ada kesempatan. Aku hanya bisa jatuh cinta dari jauh. Ya, hanya dari jauh. Dan aku frustasi.

Namaku Don. Aku pergi merantau.
Setamat SMA aku ke Jakarta. Aku ikut kakak sepupu. Aku bisa bekerja dengan ijazah SMA-ku. Yah kerja apa sajalah, di bagian administrasi. Selang beberapa waktu aku bisa kuliah. Aku memang sangat ingin bisa kulaih. Lalu aku mulai tinggal sendiri. Di kantor ini aku jatuh cinta dengan Wulan, orang baru. Lalu aku menikah. Aku pindah kerja.

Namaku Don. Si kutu loncat.
Pindah dari satu pekerjaan yang satu ke pekerjaan lain ternyata membuatku merasa semakin tertantang. Aku menjadi semakin percaya diri. Bahkan aku berhasil menyelesaikan masterku. Dan kini anakku sudah tiga, itu yang dari Wulan. Sekarang aku sudah kandidat doktor.

Namaku Don. Aku di puncak karier.
Sekarang aku pejabat tinggi di sebuah bank terkemuka. Tidak penting nama banknya. Wauw, aku semakin percaya diri. Aku juga semakin leluasa bepergian ke luar kota atau ke luar negeri. Kemanapun aku mau. Semua dengan biaya kantor. Sangat gampang buatku untuk mengatur perjalanan dinas kemanapun, kapanpun. Ah, alasan bisa dicari. Sekretarisku akan mengatur semua itu. Begini mudahnya ternyata.

Namaku Don. Aku si playboy.
Pacarku banyak. Yang masih single maupun istri orang. Siapa peduli. Istri simpanan juga ada beberapa. Mungkin anakku juga banyak. Namun istri sahku tetap Wulan. Hanya Wulan. Tapi aku pintar mengelola itu semua. Soal ini aku jagonya. Tidak akan ada satupun dari mereka akan menelponku atau mendatangi rumahku yang di Pondok Indah pada hari sabtu atau minggu. Tidak akan pernah, dalam kondisi apapun. Terlebih pacar-pacarku yang tinggalnya di Medan, Denpasar, Menado, Singapore, atau Malaysia. Ini pekerjaan gampang. Sangat gampang.

Namaku Don. Calon Bupati Temanggung.
Aku butuh pengakuan baru. Aku akan mencalonkan diri menjadi bupati Temanggung. Dan untuk itu semua, sudah kuatur dan aku persiapkan dengan sangat rapi. Seorang teman, perwira menengah di Mabes Polri sudah bersedia menjadi wakilku. Aku juga sangat dekat dengan beberapa pengurus partai dari pusat dampai daerah. Orang-orang di Kejaksaan Agung, Mabes TNI, Mabes Polri, sudah aku dekati. Juga beberapa pejabat penting di Temanggung. Semua aman. Beberapa LSM juga sudah sangat tergantung dengan bantuan dana dariku. Aku sudah siapkan uang lima milyar. Sudah aku pelajari juga pengalaman bupati-bupati sebelumnya. Aku tidak mau tergelincir seperti Totok. Jadi semua pihak harus dibelakangku. Kejaksaan, Polisi, DPRD, LSM atau siapapun mesti tunduk dengan kemauanku. Dan uang, buatku, berapapun tidak menjadi masalah.

Namaku Don. Sudono bin Juanto. Sebut saja aku Don Juan.

Cik Lan dan Yu Tinuk

Pagi itu Cik Lan terlihat gelisah. Sebentar-sebentar pandangannya dilemparkan jauh ke sudut jalan. Sesekali dia keluar, di trotoar dia pandangi lama arah alun-alun, lalu berbalik ke arah pasar. Sepertinya belum ditemukan yang dia cari. Sedikit bergeser dia pandangi arah terminal lama. Nihil. Ke arah Sayangan, nihil juga. Dia masuk lagi. Begitu berulang-ulang.
Koh Tiong, suaminya, bukan tidak tahu dengan tingkah laku istrinya. Dia pura-pura asyik baca koran. "Papi, memang Papi ndak liak Yu Tinuk. Apa dia ndak jualan lagi ya. Piye ini....?"
Suaminya bergeming. Dia maklum. Apapun jawabannya, pasti istrinya akan bicara lebih panjang lagi.
"Masak sih Papi da situ dari tadi kok isa ndak liak? Papi ini memang kebangeten tenan kok. Mami sudah tiga hari ndak ngerasakke nasi jagunge Yu Tinuk. Sudah kangen sama pecel, peyek, sama tempe baceme Yu Tinuk...."
"Mi, mBak Yah kan sudah masak dari subuh tadi to. Lengkap. Opor ayam senengane Mami juga ada. Wis, Mami sarapan wae sana...."
Cik Lan cemberut, tapi akhirnya dia turut juga kata-kata suaminya.
Sementara itu Tinuk baru selesai menyiapkan dagangannya. Tiga hari kemarin memang dia tidak berjualan. Mas Jono, begitu dia memanggil suaminya, sakit. Begitu Jono sudah terlihat agak sembuh, Tinuk memberanikan diri jualan lagi.
"nDoro Yuk, peceeeeeeeeeel". Teriakan Tinuk mengagetkan Cik Lan yang baru saja menyelesaikan sarapan pagi. Buru-buru dia lari ke depan.
"Eeeeeeeeeee, kemana wae to kok ndak ketok-ketok. Tiga hari aku nyari situ. Sampai mumet aku, saking ndak isa nahan kepingin nasi jagung. Wis ayo bawa ke dalam wae. Itu Papine juga wis kangen tapi ethok-ethok ndak pengin."
Tinuk bergegas masuk dengan bawaannya. Di ruang tengah yang cukup luas terdapat meja ping pong di tengah ruangan. Koh Tiong sedang asyik membaca koran di salah satu sisi meja.
"Eee, nDoro Yuk lanang, nuwun sewu ya. Ini saya sudah jualan lagi. Mau pecelnya ndak?" seru Tinuk.
"Kemana saja Yu, kok ndak ketok-ketok. Itu Mamine Sian Lie wis koyo orang linglung wae nyari situ."
"Iya, saya nggak jualan tiga hari. Bapakne mriang. Masuk angin. Enggak tegel saya ninggal sendiri. Ya ini kesiangan karena harus ngopeni Bapakne dulu."
“Ooooo, sama. Si Robby, adike Sian Lie wingi juga begitu. Sama Mamine dah dikasih obat sama vitamin. Katane dokter kena radang tenggorokan. Infeksi saluran pernapasan. nDak masuk sekolah dua hari. Memang sekarang ini lagi musime kok Yu. Wis ndak pa pa. Wis dibawa ke dokter belum?”
“Lha wong diajak ke Puskesmas Bapakne itu nggak mau kok. Minta dikerok. Yo wis, tak kerok wae. Ini pecele seperti biasane to..??”
“Iya Yu... Aku ki juga ndak habis pikir, lha wong Mamine itu njagani anak-anak ya tenanan lho. Pulang pergi sekolah yo sama Slamet. Mestine ya ndak kena debu. Lha ndek sekolahan itu lingkungane bersih. Kantine bersih. Kok ya isa sakit. Sambele jangan akeh-akeh Yu... Gek rada ndak enak perute..”
“Nek Bapakne itu ketoke kekeselen kok. Lha piye, sekarang apa-apa mahal. Mau masukke sing mbarep ke SMP biayane banyak banget. Ya terpaksa Bapakne nariknya lembur saben hari. Belum biaya adik-adike itu. Saya sudah ngrewangi begini ya mangsih kurang. Untunge anake saya itu bisa ngerti orang tua. Nggak macem-macem. Sekolahe ya rajin. Malah kemarin dia bilang gurune lagi ngajukan bea siswa. Wah jan seneng banget saya... Peyeke tinggal ini lho ya. Meh disambeli nggak..? ”
“nDak usah yu. Itu Mamine sing seneng bacem.”
“Iya Yu. Nasi jagunge jangan akeh-akeh. Ndak usah pakai sambel sik. Apa dikasih sedikit wae. Lagi musim sakit je. Lha itu Mamine Benny bar ngebel katane si Benny juga sakit. Ngerti Benny to Yu..? Itu lho sing da rumahe ada parabolane gede itu lho.. Cepake Saudara itu lho.. Wis sambele segitu wae. Tempe mbek tahu baceme dimasukke rantang sini wae. Nanti mulih sekolah Sian Lie rak mesti seneng banget. Bungkuske nasi jagung komplit satu Yu. Ben nanti dikasihke Slamet. Mbak Yah..., ini nasi jagung nanti tolong dikasihke Slamet ya.. Wis semua Yu. Dietung sik. Ini uange..”
Sepeninggalan Tinuk, Cik Lan segera membongkar nasi Jagung.
“Lho Mami kan habis sarapan. Apa ya ndak kewaregen? Lha wong Papi wae yang belum sarapan malah ndak disiapke..”
“Lha ini meh nyiapke gawe Papi to. Sisan tak temeni. Lha wong sudah kangen tenan sama nasi jagunge je Pi... Ndak pa pa kan yah segini sarapane sudah dua kali..”
“Si Robby mbesuk bisa masuk sekolah to? Nek ndak masuk apa ya ndak ketinggalan pelajaran akeh..?”
“Anakmu sing satu itu memang hebat kok. Ben dia ndak masuk tetap ajar terus. Mbaca terus saben hari.”
“bersyukur ya Mi kita diberi rejeki lebih. Orang-orang seperti Yu Tinuk itu masih akeh lho Mi.”
Cik Lan hanya mengangguk dan tersenyum. Hari itu dia mendapati dua hal, nasi jagungnya terpenuhi dan pelajaran tentang rasa syukur. Yu Tinuk..Yu Tinuk...batinnya sambil geleng-geleng kepala. Entah apa lagi yang ada dibenaknya.

Suradal telah mati

(Berdasar kisah nyata dengan nama tokoh dan tempat kejadian disamarkan)

Pagi-pagi buta seisi kampung gempar. “Suradal mati.” “Suradar modar”. “Suradal dut”. “Suradal moik” “Suradal mampus...” Berita matinya Suradal begitu cepat menyebar bahkan lebih cepat dari hembusan angin. Dari cara mereka menyampaikan berita ini, terlihat sekali bahwa ada kesan senang pada wajah mereka.

Suradal. Ya, nama ini sudah lama sekali menjadi pembicaraan orang sekampung. Bahkan hampir sekecamatan. Siapakah Suradal?

Suradal adalah preman. Walaupun tidak ada yang berani menyebutnya demikian, tetapi sesungguhnya Suradal adalah preman. Dia mempunyai seorang istri dan beberapa orang anak sah. Di luar itu tidak ada yang tahu berapa dia mempunyai selingkuhan dan anak-anak haramnya. Semua bagaikan telah diatur rapi oleh Suradal walaupun sebenarnya banyak orang yang sudah tahu. Bahkan semua orang sudah tahu.

Sepertinya kejadian kematian Suradal pagi itu membuat orang bisa bebas lepas membuka semua aib Suradal. Termasuk cerita Suradal di kampung itu. Bahwa Suradal punya seorang anak buah, Tukijo, yang seolah-olah menikah resmi dengan seorang gadis kampung, Onarwati. Onar, begitu dia dipanggil, tinggal serumah dengan orangtuanya dan suami pura-puranya ini. Dan pada malam-malam tertentu Suradal akan menyambangi istri anak buahnya ini untuk berbagi jatah. Begitu juga cerita serupa di beberapa kampung lain.

Jangan tanya soal uang. Suradal punya banyak uang. Dengan sekian banyak anak buahnya, dia menguasai pasar kecamatan, tukang-tukang ojek, sopir angkutan kota, dan pedagang pasar kecamatan. Semua sudah diatur rapi. Bahkan Suradal punya banyak koneksi dengan pejabat pemerintahan maupun keamanan. Jadi jangan berpikir untuk lapor, karena justru akan mendapat masalah baru.

Kematian Suradal adalah berkah buat banyak orang. Kematian Suradal telah mengingatkan orang-orang bahwa selama ini mereka telah menutupi aib di depan hidung mereka sendiri. Aib mereka sendiri.

Kamis, 11 Juni 2009

Estu Kresnha dan Prita Mulyasari

Estu Kresnha anakku.
Seorang Ibu muda yang tengah dirundung nestapa itu, Prita namanya nak. Iya, Ibu Prita. Karena dirawat di Rumah Sakit Omni Internasional, Tangerang dan karena merasa tidak mendapatkan pelayanan yang semestinya, Prita curhat ke teman-teman lewat surat elektronik (e-mail). Dia cerita tentang buruknya pelayanan rumah sakit ini. Dia cerita tentang ketidakprofesionalan dokter yang merawatnya. Tentang sulitnya mendapatkan informasi yang akurat tentang penyakitnya. Bahkan untuk mendapatkan hasil laboratorium pun tidak dia dapatkan. Begitu cerita yang berkembang nak.
Lalu curahan hati Prita kepada teman-temannya itu mengalir deras, diteruskan dari satu alamat e-mail ke alamat yang lain, dari satu milis ke milis yang lain. Terus bergulir. Terus mengalir. Sampai akhirnya terbaca juga oleh pihak manajemen rumah sakit.
Pihak rumah sakit tidak terima, lalu lapor ke polisi. Lalu perkara pun dimulai. Dan di sini penderitaan Prita berawal. Prita, ibu muda ini, ibu dari 2 orang anak balita, bahkan kabarnya anak yang paling kecil masih menyusu, dijebloskan ke dalam penjara.
Estu Kresnha anakku,
Pasti ada sesuatu yang salah di sini. Coba Engkau cari tahu, apa yang salah nak. Apakah salah bila Prita, yang merasa kesulitan mencari informasi dari sumbernya langsung, berbagi kepada teman-temannya? Apakah salah bila pihak rumah sakit yang merasa difitnah dan dijelek-jelekkan melapor ke polisi? Salahkah juga bila polisi memproses laporan itu? Atau pihak kejaksaan, yang berinisiatif menambahkan pasal baru dan kemudian memenjarakan Prita? Coba nak renungkan.
Nak, Estu Kresnha,
Setiap manusia akan menghadapi cobaan. Termasuk kita nak. Ada yang berat, ada yang ringan. Tinggal bagaimana kita akan menyikapi cobaan itu.
Tetaplah tawaqal ya nak. Selalu berharap pada pertolongan Allah. Laa haula wala quwata ila billah.

Prita Mulyasari, RS OMNI, dan Estu Kresnha


Estu Kresnha anakku.
Seorang Ibu muda yang tengah dirundung nestapa itu, Prita namanya nak. Iya, Ibu Prita. Karena dirawat di Rumah Sakit Omni Internasional, Tangerang dan karena merasa tidak mendapatkan pelayanan yang semestinya, Prita curhat ke teman-teman lewat surat elektronik (e-mail). Dia cerita tentang buruknya pelayanan rumah sakit ini. Dia cerita tentang ketidakprofesionalan dokter yang merawatnya. Tentang sulitnya mendapatkan informasi yang akurat tentang penyakitnya. Bahkan untuk mendapatkan hasil laboratorium pun tidak dia dapatkan. Begitu cerita yang berkembang nak.
Lalu curahan hati Prita kepada teman-temannya itu mengalir deras, diteruskan dari satu alamat e-mail ke alamat yang lain, dari satu milis ke milis yang lain. Terus bergulir. Terus mengalir. Sampai akhirnya terbaca juga oleh pihak manajemen rumah sakit.
Pihak rumah sakit tidak terima, lalu lapor ke polisi. Lalu perkara pun dimulai. Dan di sini penderitaan Prita berawal. Prita, ibu muda ini, ibu dari 2 orang anak balita, bahkan kabarnya anak yang paling kecil masih menyusu, dijebloskan ke dalam penjara.
Estu Kresnha anakku,
Pasti ada sesuatu yang salah di sini. Coba Engkau cari tahu, apa yang salah nak. Apakah salah bila Prita, yang merasa kesulitan mencari informasi dari sumbernya langsung, berbagi kepada teman-temannya? Apakah salah bila pihak rumah sakit yang merasa difitnah dan dijelek-jelekkan melapor ke polisi? Salahkah juga bila polisi memproses laporan itu? Atau pihak kejaksaan, yang berinisiatif menambahkan pasal baru dan kemudian memenjarakan Prita? Coba nak renungkan.
Nak, Estu Kresnha,
Setiap manusia akan menghadapi cobaan. Termasuk kita nak. Ada yang berat, ada yang ringan. Tinggal bagaimana kita akan menyikapi cobaan itu. Mari kita doakan masalah Ibu Prita lekas selesai.
Tetaplah tawaqal ya nak. Selalu berharap pada pertolongan Allah. Laa haula wala quwata ila billah.

Manohara dan Peri Kecil







Dinda, peri kecilku.
Nak, ngikutin berita tentang Manohara kan? Kasihan ya nak. Kita mesti bersimpati untuk penderitaan yang dia alami. Di usia yang masih semuda itu dia mesti didera dengan kesulitan dan penderitaan yang menyakitkan. Kita doakan dia yuk, agar masalah yang dia hadapi bisa segera terselesaikan.
Dinda, anakku.
Manohara pasti punya impian. Semua orang boleh punya impian. Begitupun engkau anakku, tentu boleh juga punya impian. Apakah impianmu ingin seperti Manohara? Ingin mendapatkan seorang pangeran rupawan nan hartawan..? Tentu boleh saja nak. Namun ingat satu hal nak, bahwa segala sesuatu yang duniawi tidak menjamin engkau akan berbahagia kelak. Sama halnya seperti yang saat ini dialami oleh Manohara, ternyata bersuamikan seorang pangeran kaya tidak menghadirkan kebahagiaan.
Dinda, putriku.
Bila kelak Allah jumpakan engkau dengan pujaan hatimu, mungkin dia tidak ganteng-ganteng amat, atau tidak kaya-kaya amat, tidak usah berkecil hati nak. Yang terpenting adalah akhlaknya. Yang utama adalah budi pekertinya. Dia sayang sama anak istri, juga hormat sama orang tua. Kalau engkau dapat satu saja yang seperti itu, maka cukup itu saja buatmu. Jadikan dia pangeran di hatimu. Maka biarlah papa mamamu akan selalu tenang meski pangeranmu kelak akan membawamu ke belahan dunia manapun. Tentu, hanya untuk kebahagiaanmu. Insya Allah.

Senin, 01 Juni 2009

Pengkhianatan Dewi Sekar Alun







Kethoprak Temanggungan

Oleh: Joko Suseno

Bayangan hitam itu berkelebat sangat cepat. Ilmu meringankan tubuhnya sangat hebat. Joko Sindoro terkesiap. Berdiri bulu kuduknya. Bukan karena takut, namun karena dia begitu mengenal sosok bayangan itu. Ya, dia adalah Aryo Sumbing, adik seperguruannya. Yang lebih membuat dia terkejut adalah dari mana arah bayangan itu berasal. Joko Sindoro yakin benar bayangan itu berkelebat dari arah kamar Dewi Sekar Alun, kekasihnya.

Di padepokan Waringin Jajar ini Joko Sindoro memang murid tertua Resi Duparada. Hampir semua ilmu sang resi sudah dikuasainya. Kedekatan dengan sang resi juga yang memudahkan dia mendekati anak semata wayangnya. Dia adalah Dewi Sekar Alun yang menjadi kembang sepadepokan. Bahkan kembang sekadipaten. Beruntunglah Joko Sindoro yang telah memenangkan hati Sekar Alun.

Aryo Sumbing adalah murid baru. Dia putra seorang pejabat tinggi di kerajaan. Senopati Girinata. Dia adalah kakak seperguruan Resi Duparada. Sejatinya sang resi tahu tentang ketinggian ilmu yang telah dimiliki Aryo Sumbing. Semula dia ingin menolak. Namun karena pesan Girinata agar bisa lebih mendekatkan anaknya dengan masyarakat kadipaten, tak kuasa juga untuk menolaknya. Sang resi tahu bahwa kakak seperguruannya sedang menyiapkan putranya untuk menjadi adipati.

Malam itu Joko Sindoro tak bisa memejamkan mata. Dia terus memikirkan apa yang sesungguhnya terjadi. Ah, apakah Sekar Alun setega itu? Kenapa pula Aryo Sumbing seberani itu? Atau apa yang aku tidak ketahui? Ah, besok pagi aku harus menghadap guru, begitu batinnya. Dia tidak menyesal tidak mengejar bayangan itu. Dia yakin sosok bayangan itu juga telah mengetahui kehadirannya.

Matahari sudah setinggi dua tombak ketika seorang cantrik membangunkannya. Resi Durapada memintanya menghadap sekarang. Ah, keduluan dia rupanya. Sekarang dia kembali terkejut. Kenapa pula dengan gurunya ini?

Cantrik mengantarnya ke teras timur padepokan. Di sana gurunya sudah menunggu. Sekar Alun dan Aryo Sumbing juga ada di sana. Berdebar kencang jantungnya. Antara amarah yang memuncak kepada Aryo Sumbing dan tanda tanya besar atas panggilan gurunya.

Joko Sindoro membungkuk hormat kepada gurunya. Aryo Sumbing menatapnya. Tatapan yang berani. Bahkan terkesan sombong. Sementara Sekar Alun hanya menunduk. Tidak ada air mata. Tidak tampak penyesalan. Ah, semua menjadi jelas sekarang.

“Ngger, anakku Joko Sindoro. Jangan terkejut aku memanggilmu menghadap. Aku tidak ingin berpanjang kata. Kakang Girinata sudah mengirim utusan kepadaku. Sang Prabu sudah memutuskan, bahwa sepeninggalan Kanjeng Adipati yang tidak meninggalkan satu orang anakpun, maka harus ditunjuk Adipati baru. Syarat adipati baru itu harus sudah beristri. Atas permintaan Kakang Girinata, Sang Prabu setuju untuk mengangkat adik seperguruanmu, Aryo Sumbing. Dan atas permintaan Kakang Girinata pula aku setuju untuk menikahkan adikmu, Sekar Alun dengan Aryo Sumbing.”

Joko Sindoro tidak lagi mendengar kalimat berikutnya. Dadanya berguncang hebat. Nafasnya tercekat. Keringatnya mengalir deras. Lalu semua menjadi gelap. Joko Sindoro tak sadarkan diri.



Bersambung dengan judul “Ontran-ontran di Kadipaten Menoreh” dan “Dendam Joko Sindoro” . Insya Allah.