
Seorang Ibu duduk memojok. Duduknya terlihat tidak nyaman. Gelisah. Pada raut wajah yang sudah banyak dihiasi dengan garis-garis perjalanan waktu itu jelas nampak tergambar kegelisahan itu.
Majelis ta’lim itu lumayan penuh. Maklum hari libur perayaan hari besar Islam. Mungkin juga karena ustadz yang memberi tausiyah sering muncul di layar televisi. Pada kata pengantarnya Pak Ustadz sudah menyampaikan bahwa akan ada sesi khusus untuk dialog. Sejak saat itu bahasa tubuh si Ibu sudah menggambarkan ketidaktenangannya. Terus saja merubah posisi duduk. Walaupun nampak menyimak isi tausiyah, namun rasanya hatinya entah ada di mana. Ada yang ingin meloncat dari dalam dirinya. Seolah-olah saat ini juga si Ibu ingin mengutarakan suatu masalah yang sangat berat.
Akhirnya sesi dialog itu pun tiba. Si Ibu mengangkat tangan yang kulitnya sudah nampak layu. Panitia memberinya mikropon tanpa kabel. Dan mulailah si Ibu dengan kisahnya.
Saya punya 3 orang anak. Semuanya laki-laki. Semuanya sudah berkeluarga dan sudah punya anak. Alhamdulillah saya nenek dari banyak cucu. Mestinya tinggal kebahagiaan yang kini saya rasakan sebagai seorang Ibu yang telah diberi kesempatan oleh Allah untuk melihat anak-anak saya memasuki kehidupan rumah tangga mereka. Mestinya saya bisa bercerita dengan bangganya sebagai lazimnya seorang Ibu dan nenek menceritakan tentang anak cucunya. Cucu-cucu yang banyak dan menggemaskan. Anak-anak dan menantu yang berbakti. Maka cukuplah itu menjadi kebahagiaan di usia saya yang sudah memasuki senja hari ini.
Ijinkan saya bercerita tentang masa kecil anak-anak saya Ustadz. Semasa kecil dulu, anak-anak saya penurut. Senakal-nakalnya anak-anak, mereka selalu mendengarkan omongan saya. Juga menuruti kata-kata ayahnya. Mereka juga rajin ke mesjid. Rajin mengaji.
Mata si Ibu mulai berkaca-kaca. Lalu mengalir butir-butir air bening membasahi pipi keriputnya. Suasana hening. Sangat hening. Lalu si Ibu melanjutkan sambil terisak.
Sekarang semua berbeda. Saat ini mereka semua tinggal tidak jauh dai rumah saya. Jadi tidak saja pada hari libur saya bisa menjumpai mereka. Saban hari selalu saja ada yang berkunjung. Atau sebentar saya mengunjungi mereka. Jadi sehari-hari saya bisa tahu apa kegiatan anak-anak dan cucu-cucu saya. Dan ini yang membuat saya sangat sedih. Ada perasaan sangat berat menggantung di hati saya. Beban dosa yang tidak tertanggungkan. Saya merasa gagal menjadi Ibu. Anak-anak saya tidak pernah menjalankan sholat. Juga istri dan anak-anak mereka. Jangankan pergi berbondong-bondong ke mesjid, sedang mendengar adzan saja mereka acuh. Mereka tetap saja asyik dengan kegiatan mereka sampai waktu sholat habis. Kalau saya ajak atau saya ingatkan, selalu jawabannya Ibu saja sholat dulu. Masih nanggung nih. Begitu terus. Apa yang salah dengan saya. Saya merasa sudah mendidik mereka dengan benar. Saya dan almarhum ayah mereka sudah mengajari mereka sholat dan mengaji. Kita panggilkan mereka guru ke rumah. Kita suruh mereka ke mesjid. Tapi sekarang......
Si Ibu menangis sesenggukan. Tidak sanggup dia melanjutkan ceritanya. Seorang Ibu merangkulnya. Ibu yang lain mengelus punggungnya. Ada juga yang memegang tangannya. Semua ingin memberi kekuatan kepada si Ibu.
Pak Ustadz mengambil alih.
Bunda, kewajiban orang tua adalah membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Tidak saja memberi mereka makan cukup, tapi juga mengajari mereka berkomunikasi bahkan sejak anak-anak lahir, berbicara dengan baik, berjalan, mengurus kebutuhan mereka sendiri. Juga mengajari akhlak dan budi pekerti yang baik. Bertegur sapa. Membalas salam. Memberi senyum. Bersikap ramah. Menjaga kata-kata dan perilaku. Banyak hal.
Orang tua juga wajib menuntun anak untuk mengenal Tuhannya. Bahkan ketika baru saja lahir si ayah wajib mengumandangkan adzan di telingan kanan dan iqomah di telinga kiri si bayi. Begitulah agama kita menuntun kita untuk memperkenalkan Tuhan kepada anak-anak sejak dini.
Bayi ibarat kertas putih bersih. Belum ada satu coretan pun. Bahkan tidak juga satu titik.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. : Nabi Muhammad Saw pernah bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak mempersekutukan Allah) tetapi orang tuanya lah yang menjadikan dia seorang yahudi atau nasrani atau majusi sebagaimana seekor hewan melahirkan seekor hewan yang sempurna. Apakah kau melihatnya buntung?” kemudian Abu Hurairah membacakan ayat-ayat suci ini: (tetaplah atas) fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. (Hukum-hukum) ciptaan Allah tidak dapat diubah. Itulah agama yang benar. Tapi sebagian besar manusia tidak mengetahui (QS Ar Rum [30]:30)
Dari cerita Ibu rasanya Ibu sudah menjalankan semua kewajiban Ibu dengan benar. Lalu apanya yang salah? Siapa yang salah?
Tanpa bermaksud untuk menghakimi siapapun, saya ingin mengajak kita semua sebagai orang tua untuk merenungi kembali, bagaimana kita telah mengasuh dan membesarkan anak-anak kita. Kemarin, kini, dan nanti.
Jaman sudah semakin maju. Anak-anak SD sekarang sudah punya HP. Bahkan tidak sedikit yang diberi blackberry oleh orang tuanya, entah dengan pertimbangan apa. Akses internet semakin mudah. Sinetron dan tayangan reality show silih berganti. Sementara itu ayah dan bundanya dua-duanya bekerja mencari nafkah. Anak-anak besar bersama baby sister atau pembantu rumah tangga. Itu sekarang ini. Ayah Ibunya memang menyuruh anak-anaknya mengaji dan sholat, tapi tidak memberi contoh. Anak-anak disuruh pergi ke mesjid, tapi ayah ibunya asyik dengan kisah sinetron yang tayang tiap hari berseri-seri panjangnya. Begitulah. Anak kehilangan figur panutan. Anak tidak punya contoh. Yang mereka temui adalah intruktur. Orang tua yang mereka kenal laksana mandor yang kerjanya menyuruh-nyuruh tapi tidak mengerjakan. Kenapa tidak ayah pergi ke mesjid lalu ajak serta putranya? Kenapa tidak bunda membaca al Qur’an lalu ajak pula putrinya? Itulah yang namanya memberi teladan.
Lalu menjawab pertanyaan Ibu. Mereka anak-anak Ibu sudah dewasa. Sudah mengerti hak dan kewajiban beragama. Ibu sudah memenuhi kewajiban Ibu. Sekarang serahkan saja semua kepada Allah. Berdoalah tanpa henti, semoga putra-putra dan cucu-cucu Ibu diberi hidayah.
Hingga akhirnya Allah memanggil si Ibu, belum nampak ada perubahan perilaku anak-anaknya. Mohon doa untuk Ibu Fulan, semoga kegundahan hatinya menjadi jalan menuju ampunan dari Allah swt.
Berdasar kisah nyata dengan penambahan redaksi.
Klik saja: http://www.jurnaljokosuseno.blogspot.com
salam kenal mas. pertama saya temukan blog ini, berawal dari googling gambar bertema raut wajah. saya terkesan dengan foto wajah ini. saya suka menulis prosa, puisi atau tulisan-tulisan kecil berdasarkan gambar-gambar raut wajah. dan setelah menemukan seraut wajah ibu yang ada di blog ini, saya sangat berkesan. makanya, dengan segala hormat, saya ingin meminta izin mengambil gambar ini untuk saya tampilin di blog saya juga. tentunya, nanti saya akan menampilkan sumber gambarnya. jika sempat berkunjunglah ke blog saya. terima kasih. salam dari Banda Aceh.
BalasHapus