Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokaatuh.
Kepada yang terhormat:
Bapak Presiden
Bapak Wakil Presiden
Bapak Ibu Menteri
Bapak Ibu MPR
Bapak Ibu DPR
Bapak Ibu DPDBapak Ibu Gubernur
Bapak Ibu Bupati dan Walikota
Bapak Ibu Camat
Bapak Ibu Lurah
Bapk Ibu RW dan RT
Pertama saya ingin mendoakan semoga Anda semua sehat wal afiat.
Bila Anda sehat, maka selanjutnya saya ingin mengajak Anda untuk sejenak membayangkan seolah-olah saat ini di hadapan Anda ada sebuah papan catur. Iya, papan catur. Bayangkan pula buah-buah caturnya masih lengkap. Anggap saja mereka masih berdiri pada posisi masing-masing ketika belum dijalankan satu bidak pun.
Sekarang coba Anda lihat – Anda membayangkan sedang melihat – bidang-bidang yang masih kosong. Ada 64 bidang kosong yaitu 32 di sisi hitam dan 32 di sisi putih. Mudah-mudahan saya tidak salah.
Saya ingin ajak Anda berpikir bahwa buah-buah catur itu identik dengan rakyat Indonesia saat ini. Ya, anggap saja mewakili sekian ratus juta. Rakyat Indonesia tahun 2008. Lalu bidang-bidang papan catur tempat mereka berdiri itu mari kita analogikan sebagai rumah-rumah tempat tinggal jutaan rakyat Indonesia itu.
Walau kenyataannya ada rumah dengan luas 500 meter di atas tanah 2000 meter, ada pula rumah tipe 21 dengan tanah 60 meter, ada yang tinggal di rumah susun dan tidak punya tanah. Lebih parah lagi ada yang tinggal di gubuk-gubuk liar di pinggir rel kereta api atau bantaran kali, bahkan ada yang di kolong-kolong jembatan. Mari kita anggap mereka masing-masing menempati satu bidang di atas papan catur tanah Indonesia ini. Kita anggap saja sama.
Nah, bidang-bidang yang masih kosong itu kita bayangkan sebagai tanah pertanian, tanah perkebunan, tambak ikan dan udang, tambang-tambang minyak dan batubara, atau apa saja tempat di mana manusia menggantungkan hidupnya dari alam ini.
Tanah (dan juga air) yang ada saat ini harus bisa memberi makan ratusan juta mulut rakyat Indonesia. Setiap hari, setiap waktu, sepanjang jaman. Betul, sebagian memang impor. Ada kedelai, buah-buahan, sapi, ikan dan lain-lain. Tidak masalah. Kita bisa bayangkan negara-negara pengekspor komoditas itu sebagai papan-papan catur yang lain. Nanti, insya Allah.
Sekarang mari kita kembali dulu ke papan catur di hadapan kita. Papan catur ini tidak pernah bertambah luas. Mari kembali bayangkan iya adalah tanah Indonesia ini. Dan buah-buah catur itu adalah penduduknya.
Lalu mari kita bayangkan saat-saat 10, 20, atau 30 tahun lagi.
Berapa pertumbuhan penduduk Indonesia setiap tahunnya? Lalu berapa jumlah penduduk saat itu? Bang Haji Rhoma Irama sekitar tahun 80-an pernah menciptakan lagu, syairnya kira-kira begini: “seratus tiga puluh
lima juta penduduk Indonesia….dst”. Sekarang sudah dua kali lipat. Lalu berapa penduduk Indonesia nanti tahun 2030 atau 2040? Pernahkah Anda memikirkan itu? Saya iya. Lihat papan catur kita. Berapa bidang papan catur yang akan masih kosong?
Akan semakin banyak mulut yang butuh makan, tapi akan semakin sedikit tanah dan air yang menopang itu. Ingat sekali lagi, papan catur tidak pernah bertambah luas.
Ada pertanyaan terpenting saat ini, apakah Anda pernah memikirkan itu semua wahai Bapak Presiden, Wakil Presiden, Menteri, MPR, DPR, DPD, Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Lurah? Kalau Pak RT rasanya iya, karena saya kenal beliau. Bukan begitu Pak Kun?
Apa hal nyata yang telah atau sedang Anda perbuat? Menyiapkan program jangka panjang semacam REPELIPUTA (Rencana Pembangunan Lima Puluh Tahun)? Menyiapkan rancangan undang-undang? Menyiapkan sawah 5 juta hektar? Atau mungkin Anda berpikir, ah biarlah itu nanti akan dipikirkan oleh para pengganti saya. Toh sebentar lagi pemilu, mungkin saya tidak akan lagi duduk di posisi saya sekarang. Begitukah?
Hari ini anak pertama saya, Estu, genap berumur 12 tahun. Mungkin 20 atau 30 tahun lagi saya sudah punya cucu. Itu juga kalau saya masih diberi kesempatan hidup. Akankah saat itu saya menyaksikan anak cucu saya berlimpah dengan makanan karena apa yang telah Anda perbuat sekarang ini? Atau mereka justru sedang kelaparan, seperti halnya saudara kita di negeri-negeri miskin di benua Afrika sana? Ah, Anda bahkan mungkin tidak ingin membayangkan situasi saat itu. Maafkan saya.
Tanah semakin menyempit karena harus didirikan rumah-rumah, apartemen, mall dan lain-lain. Sementara mulut-mulut yang setiap hari terus butuh makan semakin bertambah. Ya, semakin bertambah. Karena dalam sehari lahir ribuan bayi. Karena dalam sehari berdiri ratusan rumah. Karena dalam sehari berkurang sekian hektar tanah-tanah produktif tempat menanam padi atau memelihara ikan-ikan itu.
Itu pasti. Dan tidak ada seorang pun yang bisa menghentikan. Tidak Presiden. Tidak juga DPR. Apalagi kalau pemda-pemda muncul syahwatnya untuk membabat hutan untuk dijadikan perkantoran, rumah tinggal, atau tempat-tempat bisnis lainnya toh gampang saja. Kalau butuh persetujuan DPR, tinggal siapkan uang beberapa miliar, kirim utusan, temui orang penting di komisi yang paling menentukan. Pasti beres. Sangat mudah. Semudah membalik telapak tangan. Soal itu duit siapa dan dari mana, itu perkara nomor dua puluh empat. Bahwa ternyata ada satu dua orang ada yang tertangkap KPK lalu dipenjara, itu semata-mata karena mereka sedang sial saja.
Lalu siapa lagi yang akan memikirkan papan catur kita tadi? Siapa yang akan memikirkan nasib anak cucu kita 10, 20 atau 30 tahun lagi? Akankah saat itu padi, jagung, singkong harus ditanam di dalam pot dan diletakkan di atap-atap apartemen? Atau saat itu akan ada varietas padi yang setiap rumpun bisa menghasilkan 10 atau 20 kg? Mungkin akan ada makanan buatan bernutrisi khusus yang sekali makan bisa mengenyangkan 2-3 hari? Sungguh sangat menenangkan hati. Kalau tahu akan demikian, rasanya tidak perlu lagi gundah hati ini.
Ahai, atau mudah-mudahan kiamat memang sudah sangat dekat. Kalau iya, maka persoalan menjadi selesai. Tapi siapa yang bisa tahu bahwa 3 atau 5 tahun lagi kiamat akan datang, hingga kita tidak perlu lagi memikirkan mulut-mulut dan perut anak cucu kita itu? Atau Anda ingin bilang, ah gitu aja kok repot, nanti kan mereka akan menemukan jalan mereka sendiri…Begitukah?
Bapak Presiden, Wakil Presiden, Menteri-menteri, MPR, DPR, DPD, Gubernur, Walikota, Bupati, Camat, Lurah, RW, RT salah satu dari Anda mesti berbuat sesuatu. Segera. Sekarang juga. Sebelum kegundahan hati saya menyebar menjadi kegundahan hati jutaan ayah-ayah lainnya. Kegundahan hati Ibu, Kakek, Nenek, Opa, Oma, Eyang, Embah, dan kegundahan hati semua orang.
Bila Anda membantu menyebarkan pesan ini, bukan berarti Anda sedang menyebarkan keresahan dan kegundahan, tetapi semata-mata itu kepedulian Anda untuk nasib anak cucu Anda sendiri. Siapa satu salah satu dari yang Anda kirim akan sampai kepada orang yang akan berbuat sesuatu, entah itu siapa.
Mohon maaf lahir batin. Selamat berpuasa. Marhaban yaa Ramadhan.
Pamulang, 29 Agustus 2008.
Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokaatuh.
Joko Suseno
Vila Dago Blok K No.69
Pamulang – Tangerang – Banten – Indonesia.
e-mail: jokosuseno34@yahoo.com atau pakneestu@gmail.com
sekedar catatan: pesan ini pernah penulis kirim secara masif melalui e-mail pada tanggal 29 Agustus 2008
Kepada yang terhormat:
Bapak Presiden
Bapak Wakil Presiden
Bapak Ibu Menteri
Bapak Ibu MPR
Bapak Ibu DPR
Bapak Ibu DPDBapak Ibu Gubernur
Bapak Ibu Bupati dan Walikota
Bapak Ibu Camat
Bapak Ibu Lurah
Bapk Ibu RW dan RT
Pertama saya ingin mendoakan semoga Anda semua sehat wal afiat.
Bila Anda sehat, maka selanjutnya saya ingin mengajak Anda untuk sejenak membayangkan seolah-olah saat ini di hadapan Anda ada sebuah papan catur. Iya, papan catur. Bayangkan pula buah-buah caturnya masih lengkap. Anggap saja mereka masih berdiri pada posisi masing-masing ketika belum dijalankan satu bidak pun.
Sekarang coba Anda lihat – Anda membayangkan sedang melihat – bidang-bidang yang masih kosong. Ada 64 bidang kosong yaitu 32 di sisi hitam dan 32 di sisi putih. Mudah-mudahan saya tidak salah.
Saya ingin ajak Anda berpikir bahwa buah-buah catur itu identik dengan rakyat Indonesia saat ini. Ya, anggap saja mewakili sekian ratus juta. Rakyat Indonesia tahun 2008. Lalu bidang-bidang papan catur tempat mereka berdiri itu mari kita analogikan sebagai rumah-rumah tempat tinggal jutaan rakyat Indonesia itu.
Walau kenyataannya ada rumah dengan luas 500 meter di atas tanah 2000 meter, ada pula rumah tipe 21 dengan tanah 60 meter, ada yang tinggal di rumah susun dan tidak punya tanah. Lebih parah lagi ada yang tinggal di gubuk-gubuk liar di pinggir rel kereta api atau bantaran kali, bahkan ada yang di kolong-kolong jembatan. Mari kita anggap mereka masing-masing menempati satu bidang di atas papan catur tanah Indonesia ini. Kita anggap saja sama.
Nah, bidang-bidang yang masih kosong itu kita bayangkan sebagai tanah pertanian, tanah perkebunan, tambak ikan dan udang, tambang-tambang minyak dan batubara, atau apa saja tempat di mana manusia menggantungkan hidupnya dari alam ini.
Tanah (dan juga air) yang ada saat ini harus bisa memberi makan ratusan juta mulut rakyat Indonesia. Setiap hari, setiap waktu, sepanjang jaman. Betul, sebagian memang impor. Ada kedelai, buah-buahan, sapi, ikan dan lain-lain. Tidak masalah. Kita bisa bayangkan negara-negara pengekspor komoditas itu sebagai papan-papan catur yang lain. Nanti, insya Allah.
Sekarang mari kita kembali dulu ke papan catur di hadapan kita. Papan catur ini tidak pernah bertambah luas. Mari kembali bayangkan iya adalah tanah Indonesia ini. Dan buah-buah catur itu adalah penduduknya.
Lalu mari kita bayangkan saat-saat 10, 20, atau 30 tahun lagi.
Berapa pertumbuhan penduduk Indonesia setiap tahunnya? Lalu berapa jumlah penduduk saat itu? Bang Haji Rhoma Irama sekitar tahun 80-an pernah menciptakan lagu, syairnya kira-kira begini: “seratus tiga puluh
lima juta penduduk Indonesia….dst”. Sekarang sudah dua kali lipat. Lalu berapa penduduk Indonesia nanti tahun 2030 atau 2040? Pernahkah Anda memikirkan itu? Saya iya. Lihat papan catur kita. Berapa bidang papan catur yang akan masih kosong?
Akan semakin banyak mulut yang butuh makan, tapi akan semakin sedikit tanah dan air yang menopang itu. Ingat sekali lagi, papan catur tidak pernah bertambah luas.
Ada pertanyaan terpenting saat ini, apakah Anda pernah memikirkan itu semua wahai Bapak Presiden, Wakil Presiden, Menteri, MPR, DPR, DPD, Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Lurah? Kalau Pak RT rasanya iya, karena saya kenal beliau. Bukan begitu Pak Kun?
Apa hal nyata yang telah atau sedang Anda perbuat? Menyiapkan program jangka panjang semacam REPELIPUTA (Rencana Pembangunan Lima Puluh Tahun)? Menyiapkan rancangan undang-undang? Menyiapkan sawah 5 juta hektar? Atau mungkin Anda berpikir, ah biarlah itu nanti akan dipikirkan oleh para pengganti saya. Toh sebentar lagi pemilu, mungkin saya tidak akan lagi duduk di posisi saya sekarang. Begitukah?
Hari ini anak pertama saya, Estu, genap berumur 12 tahun. Mungkin 20 atau 30 tahun lagi saya sudah punya cucu. Itu juga kalau saya masih diberi kesempatan hidup. Akankah saat itu saya menyaksikan anak cucu saya berlimpah dengan makanan karena apa yang telah Anda perbuat sekarang ini? Atau mereka justru sedang kelaparan, seperti halnya saudara kita di negeri-negeri miskin di benua Afrika sana? Ah, Anda bahkan mungkin tidak ingin membayangkan situasi saat itu. Maafkan saya.
Tanah semakin menyempit karena harus didirikan rumah-rumah, apartemen, mall dan lain-lain. Sementara mulut-mulut yang setiap hari terus butuh makan semakin bertambah. Ya, semakin bertambah. Karena dalam sehari lahir ribuan bayi. Karena dalam sehari berdiri ratusan rumah. Karena dalam sehari berkurang sekian hektar tanah-tanah produktif tempat menanam padi atau memelihara ikan-ikan itu.
Itu pasti. Dan tidak ada seorang pun yang bisa menghentikan. Tidak Presiden. Tidak juga DPR. Apalagi kalau pemda-pemda muncul syahwatnya untuk membabat hutan untuk dijadikan perkantoran, rumah tinggal, atau tempat-tempat bisnis lainnya toh gampang saja. Kalau butuh persetujuan DPR, tinggal siapkan uang beberapa miliar, kirim utusan, temui orang penting di komisi yang paling menentukan. Pasti beres. Sangat mudah. Semudah membalik telapak tangan. Soal itu duit siapa dan dari mana, itu perkara nomor dua puluh empat. Bahwa ternyata ada satu dua orang ada yang tertangkap KPK lalu dipenjara, itu semata-mata karena mereka sedang sial saja.
Lalu siapa lagi yang akan memikirkan papan catur kita tadi? Siapa yang akan memikirkan nasib anak cucu kita 10, 20 atau 30 tahun lagi? Akankah saat itu padi, jagung, singkong harus ditanam di dalam pot dan diletakkan di atap-atap apartemen? Atau saat itu akan ada varietas padi yang setiap rumpun bisa menghasilkan 10 atau 20 kg? Mungkin akan ada makanan buatan bernutrisi khusus yang sekali makan bisa mengenyangkan 2-3 hari? Sungguh sangat menenangkan hati. Kalau tahu akan demikian, rasanya tidak perlu lagi gundah hati ini.
Ahai, atau mudah-mudahan kiamat memang sudah sangat dekat. Kalau iya, maka persoalan menjadi selesai. Tapi siapa yang bisa tahu bahwa 3 atau 5 tahun lagi kiamat akan datang, hingga kita tidak perlu lagi memikirkan mulut-mulut dan perut anak cucu kita itu? Atau Anda ingin bilang, ah gitu aja kok repot, nanti kan mereka akan menemukan jalan mereka sendiri…Begitukah?
Bapak Presiden, Wakil Presiden, Menteri-menteri, MPR, DPR, DPD, Gubernur, Walikota, Bupati, Camat, Lurah, RW, RT salah satu dari Anda mesti berbuat sesuatu. Segera. Sekarang juga. Sebelum kegundahan hati saya menyebar menjadi kegundahan hati jutaan ayah-ayah lainnya. Kegundahan hati Ibu, Kakek, Nenek, Opa, Oma, Eyang, Embah, dan kegundahan hati semua orang.
Bila Anda membantu menyebarkan pesan ini, bukan berarti Anda sedang menyebarkan keresahan dan kegundahan, tetapi semata-mata itu kepedulian Anda untuk nasib anak cucu Anda sendiri. Siapa satu salah satu dari yang Anda kirim akan sampai kepada orang yang akan berbuat sesuatu, entah itu siapa.
Mohon maaf lahir batin. Selamat berpuasa. Marhaban yaa Ramadhan.
Pamulang, 29 Agustus 2008.
Wassalamu’alaikum warohmatullohi wabarokaatuh.
Joko Suseno
Vila Dago Blok K No.69
Pamulang – Tangerang – Banten – Indonesia.
e-mail: jokosuseno34@yahoo.com atau pakneestu@gmail.com
sekedar catatan: pesan ini pernah penulis kirim secara masif melalui e-mail pada tanggal 29 Agustus 2008