Komunitas Pendaki Tangga Darurat
Teman-teman semua, cerita nenek jago lari di bawah ini bisa jadi terasa berlebihan bagi kita. Kemajuan tehnologi telah memberi kita banyak kemudahan. Jangankan gedung pencakar langit berlantai ratusan, gedung tidak seberapa tinggi dengan jumlah lantai 4-5 saja pasti telah memanfaatkan lift untuk memudahkan pengguna dalam hal naik-turun lantai.
Sementara itu jarak tempuh yang semakin jauh dari tempat tinggal ke kantor (karena rumah kita di Tambun, Bogor, Mauk, atau Gunung Sindur sementara kantor berada di Gatot Subroto atau Thamrin) atau waktu tempuh yang semakin lama karena kemacetan lalu lintas, menuntut kita untuk berangkat kerja lebih pagi. Begitu pun pulang kerjanya, sampai di rumah akan menjadi semakin malam. Dengan demikian waktu kita menjadi semakin habis tersita.
Lalu masihkah kita punya waktu untuk berolah raga? Jawabnya mungkin: boro-boro olah raga, untuk ngurus rumah dan anak-anak saja sudah tidak cukup waktu. Hari gini olah raga adalah barang mewah.
Namun benarkah demikian? Tidak adakah lagi sedikit waktu tersisa untuk menjaga kebugaran tubuh? Tentu kita tidak ingin hidup bersama penyakit yang bersarang di tubuh kita bukan? Kolesterol tinggi, stroke, jantung dll disamping karena kita tidak baik dalam menjaga pola makan, hal lainnya lagi adalah karena kita kurang olah raga. Bahkan mungkin bukan kurang, tapi TIDAK PERNAH.
Ada di lantai berapa kantor Anda? Lantai 2 atau 10 atau 30? Jam berapa jam kerja kantor Anda? Jam 8 pagi? Lalu jam berapa tiba di kantor? Jam 7.30 atau 7.45 ataukah 7.59?
Nah, saya punya tantangan menarik untuk Anda. Kenapa tidak coba lewat tangga darurat saja? Kalau kantor Anda di lantai 2 dan Anda mau lewat tangga, maka tidak butuh waktu sampai 1 menit. Bahkan mungkin lebih cepat dari waktu Anda untuk menunggu lift. Kalau Anda di lantai 10, Anda akan butuh waktu sekitar 5 menit. Tentu saya tidak menyarankan agar Anda naik tangga ke lantai 10 dari sejak awal Anda mau ikut tantangan ini. Tidak begitu. Anda bisa berlatih dulu dengan 2-3 lantai terlebih dulu, lalu meningkat setiap hari. Silakan Anda ukur sendiri kemampuan Anda.
Kantor saya di lantai 5 Wisma BCA Pondok Indah. Karena akses tangga darurat tidak bisa dimasuki dari ruang lobby utama, maka begitu saya tiba di lobby kantor, saya mesti berjalan ke memutar ke kiri gedung, menyusuri samping jalan utama, lalu masuk ke pintu tangga darurat. Dan pendakian pun dimulai. Tidak butuh waktu lama. Hanya sekitar 2-3 menit.
Saya baru memulai. Saya mengikuti jejak teman saya, Danu. Dia sudah lebih dulu melakukan ini. Anda bisa memulainya juga sekarang. Anda juga bisa menundanya sampai entah kapan. Karena menjaga diri kita untuk sehat atau bermalas-malasan dan akhirnya badan tidak siap menghadapi penyakit sejatinya adalah masalah pilihan.
Ajak teman2 Anda, sahabat Anda, kekasih Anda, suami atau istri Anda, untuk memanfaatkan seikit waktu yang kita punya untuk berolah raga. Mari bergabung dalam komunitas sehat, Komunitas Pendaki Tangga Darurat (KOTANG DARAT) di kantor kita. Kalau kita konsisten bisa menjalani ini, maka insya Allah kesehatan kita akan selalu prima. Tidak percaya? Ayo kita coba. Kalo Anda belum berani mencoba, minimal sebar e-mail ini ke teman atau kenalan Anda. Siapa tahu bisa menginspirasi mereka.
Salam sehat.
Joko Suseno
Blog:
http://jurnaljokosuseno.blogspot.comNENEK JAGO LARI
By. Achmad Taufik
“Kita adalah apa yang kita kerjakan berulang-ulang. Karena itu, keunggulan bukanlah suatu perbuatan, melainkan sebuah kebiasaan.” (Aristoteles)
Bagi yang tidak terbiasa, jangankan berlari, berjalan mendaki anak tangga sebuah gedung bertingkat delapan tentu terasa sangat melelahkan. Langkah demi langkah seiring bertambahnya anak tangga yang dipijak, ayunan kaki terasa semakin berat, semakin lambat. Bertambah ke atas, komplikasi antara nafas ngos-ngosan, paha nyut-nyutan, bahkan pandangan yang pyar-pyaran misalnya, sangat mungkin terjadi. Itu baru delapan lantai, bagaimana kalau sepuluh kali lipatnya (80-an lantai), kalau tidak jantungnya copot, minimal pingsan barangkali.
Tapi beberapa bulan yang lalu saya menyimak sebuah berita mengejutkan di televisi: SEORANG NENEK BERUMUR 72 TAHUN BERHASIL MENYELESAIKAN (DENGAN SELAMAT) LOMBA LARI MENAIKI TANGGA GEDUNG EMPIRE STATE BUILDING (NEW YORK, AS) SETINGGI 86 LANTAI, DENGAN CATATAN WAKTU: 22 MENIT.
Masya Allah…., sambil geleng-geleng kepala, komentar saya antara: “Sampun tho..Mbah, Mbah!” (Sudahlah ..Nek, Nek !), dan “Koq, nenek-nenek masih kuat ya..?!”
Lalu, bagaimana seorang nenek yang sudah berumur 72 tahun bisa melakukan itu?
Bila komentar kita kepada sang nenek: “Nek, Luar Biasa..!!” Maka dengan santai ala gadis belia, barangkali ia akan menjawab: “Sudah biasa, tuh!” Dan jawabannya tersebut benar. Ia bisa karena biasa. Biasa berolahraga, jogging misalnya, dan latihan lari mendaki anak tangga tentunya.
Kegiatan mengulang-ulang sesuatu sebagai bentuk dari kebiasaan merupakan elemen dasar pembelajaran (basic element of learning). Dengan terbentuknya kebiasaan tersebut, maka gerak tubuh dan fikiran seseorang akan berjalan spontan, nyaris tanpa hambatan. Sesuatu yang terlihat sukar bagi orang lain menjadi tampak mudah bagi yang biasa melakukan.
Bagi Mbak Atik dan Mas Reza ‘Dedaunan’ misalnya, menulis barangkali terasa mudah bahkan nikmat, karena sudah biasa. Tapi bagi yang belum terbiasa, pekerjaan tulis-menulis mungkin terasa begitu sulit bahkan menyiksa. Komputer sudah panas, tulisan satu alinea belum kelar-kelar juga. ‘Menthelengi’ monitor terus! Begitulah, kurang lebih gambarannya.
Padahal apa pun wujud kebiasaan, baik maupun buruk, pastilah tidak mudah pada awalnya. Itu sudah menjadi rumus. Contoh buruk: maling, misalnya. Pada awal menjalankan kebiasaan jeleknya, tentu tidak mudah. Keringat yang segede-gede jagung, rasa takut yang sangat, dan gampang kepergok, mewarnai pekerjaan amatirannya. Proyek maling berikutnya berjalan lebih lancar, rasa takut berkurang dan operasi pun berjalan lebih mulus. Setelah menjadi kebiasaan dan profesional, rasa takut tak ada lagi, hasil jarahan bertambah besar, dan untuk menangkapnya pun polisi mengalami kesulitan. Na’udzubillah!
Begitu pula kebiasaan baik, awalnya pun tidak mudah. Bila Anda sekarang begitu lihai menggeber sepeda motor, masih ingatkah Anda pertama kali belajar naik sepeda? Bila Anda sekarang begitu lancar memberikan konsultasi kepada Wajib Pajak sehingga membuatnya terpesona (“Wuiih.., dasar Cah STAN!”), masih ingatkah Anda pertama kali belajar Akuntansi dan Perpajakan waktu kuliah dulu? Bagaimana bila posisi Anda dibalik, Anda yang mendengarkan uraian WP tentang bidang pekerjaannya, bukankah ganti Anda yang terpesona? Biasa buat Anda, barangkali luar biasa buat orang lain. Sebaliknya, biasa buat orang lain, mungkin luar biasa buat Anda. Begitulah istimewanya sebuah kebiasaan.
Yang patut menjadi perhatian kita adalah apa pun bentuk kebiasaan, baik maupun buruk, pada akhirnya akan mewujud sebagai sebuah karakter. Dan sebuah karakter menjadi ciri kepribadian seseorang yang meskipun tidak mustahil, namun seringkali tidak mudah untuk diubah. Orang Jawa bilang,“Watek digawa ngurek!” (Watak dibawa mati!).
Dari sekelumit kisah dan uraian singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa kita adalah apa yang biasa kita kerjakan. Menyadari bahwa kebiasaan seringkali tidak mudah untuk diubah, maka sudah seharusnya kita untuk bersungguh-sungguh mencegah diri untuk memulai kebiasaan buruk. Dan karena keunggulan kita terletak bukan semata-mata dari suatu perbuatan melainkan dari kebiasaan baik yang senantiasa kita kerjakan, maka marilah kita memulainya dari sekarang, meskipun dari hal yang kecil. Bukankah, dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Allah SWT lebih menyukai amal ibadah yang kecil tetapi dikerjakan terus menerus daripada besar tapi kemudian terputus?!
Perhatikan minat, bakat, dan keunggulan Anda, lalu kerjakanlah berulang-ulang, Insya Allah Anda akan sukses!
Wallahu a’lam bish-showab.