Perlahan-lahan kapal itu akhirnya tenggelam sempurna. Tinggal gelembung-gelembung udara yang nampak samar di permukaan samudera luas itu. Yusuf selamat berkat kesigapannya menyambar alat pelampung. Sementara belasan kawannya terjebak di dalam kapal dan ikut tenggelam ke dasar samudera.
Tinggalah Yusuf terombang-ambing di tengah samudera di antara barang-barang yang terlempar dari kapal dan kini mengambang menjadi sampah tak berguna. Lautan kini lebih tenang setelah beberapa saat lalu tiba-tiba muncul badai dahsyat disertai kilat menyambar-nyambar dan ombak tinggi dan ganas luar biasa. Hanya dalam hitungan menit semua berubah. Yusuf kini sendirian di tengah malam gelap gulita. Tidak nampak satu pun bintang yang bisa memberi sedikit cahaya. Gelap hitam pekat. Hanya semangat dan keinginan untuk hidup yang kuat mebuatnya mampu bertahan, sebelumnya akhirnya tertidur sambil terapung-apung. Atau mungkin lebih tepat dia pingsan.
Hari telah beranjak siang ketika tersadar. Rupanya dia terdampar di sebuah pulau kecil. Beberapa pohon kelapa tumbuh di pulai ini. Juga beberapa pohon dan tumbuh-tumbuhan lainnya. Ada harapan untuk menyambung hidup.
Hari berganti hari. Bulan demi bulan pun berlalu, tak jua ada pertolongan datang. Tidak nampak kapal yang lewat, tidak juga pesawat terbang. Pakaian satu-satunya yang dikenakan sudah hancur, tidak jelas lagi bentuk dan rupanya. Rambutnya lebat panjang dan berantakan. Wajahnya bercambang, gelap dan sangar. Yusuf tidak putus asa. Dengan apa yang ada di pulau itu dia bangun sebuah gubuk kecil untuk berlindung dari terpaan panas pada siang hari, dan gigitan udara dingin pada malam hari. Gubuk yang sangat sederhana tetapi mampu melindungi dari terpaan angin malam. Tuhan, mudah-mudahan segera datang pertolongan, doanya.
Pagi itu Yusuf seperti biasa menyusuri pulau kecil itu untuk mencari buah-buahan. Buah apa saja, yang penting bisa untuk bertahan menyambung hidup. Nampaknya ini musim kemarau karena beberapa hari tidak pernah turun hujan, dan pepohonan nampak mulai mengering. Buah-buahan menjadi semakin sulit. Harapan terakhir adalah buah kelapa. Tiba-tiba terlihat asap tebal membubung tinggi dari arah guguknya. Oh tidak, hatinya cemas. Yusuf lari pulang secepatnya. Tidak peduli semak belukar menggores kulitnya yang kini telah semakin kasar. Dia terus berlari. Pandangannya ke atas, ke arah datangnya asap itu. Sambil berdoa, semoga Tuhan tidak membuatnya susah lagi kali ini.
Benar saja, rupanya gubuk yang telah susah payah dibuatnya kini habis terbakar. Matanya kini nanar. Pandangannya kabur. Air matanya tumpah. Terguguk. Meraung-raung. Berteriak-teriak. Pupus sudah kepercayaannya. Hei, Tuhan, Kamu sungguh tidak adil. Kamu sudah buat aku terdampar di pulau menyedihkan ini. Sekarang, gubuk satu-satunya yang aku buat dengan susah payah Kau buat terbakar. Sungguh Engkau tidak adil..huaaahuaahuaaaaaaa....
Buk..pingsan...
Ketika tersadar, Yusuf telah berada di sebuah pembaringan kapal besar milik tentara angkatan laut. Dia terbaring lemah. Sambil terheran-heran dipandangi sekelilingnya. Dirinya sendiri telah lebih bersih dan luka-luka yang masih terasa peris telah diobati dan diperban.
Ketika seorang kelasi datang mendekat membawakan makan untuknya, segera dia bertanya: “Pak, terakhir yang saya ingat, tadi saya sedang bersedih karena gubuk saya terbakar. Sekarang tiba-tiba sudah di kapal ini dengan kondisi yang begini. Bisa tolong jelaskan apa yang terjadi Pak?”
“Iya Pak, tadi kami sedang berpatroli rutin. Tiba-tiba dari kejauhan kami melihat ada asap tinggi mengepul. Kapten memerintahkan kapal ini untuk mengarah ke asal asap. Ternyata di pulau kecil itu kami temukan Bapak sedang pingsan. Dokter sudah memeriksa kondisi kesehatan Bapak. Di samping luka-luka, Bapak juga kekurangan gizi. Tapi jangan kuatir Pak, kapal ini menyediakan semua keperluan Bapak.”
Yusuf tertegun. Dia masih ingat betul makiannya kepada Tuhan. Ternyata Tuhan memang adil dengan caranya sendiri. Dia kini menyesali kata-katanya.
*) Seperti diceritakan oleh Ibu Lanny Budiati, fasilitator training 7 Habits di Hotel Yasmin, Puncak, Cianjur.
Tinggalah Yusuf terombang-ambing di tengah samudera di antara barang-barang yang terlempar dari kapal dan kini mengambang menjadi sampah tak berguna. Lautan kini lebih tenang setelah beberapa saat lalu tiba-tiba muncul badai dahsyat disertai kilat menyambar-nyambar dan ombak tinggi dan ganas luar biasa. Hanya dalam hitungan menit semua berubah. Yusuf kini sendirian di tengah malam gelap gulita. Tidak nampak satu pun bintang yang bisa memberi sedikit cahaya. Gelap hitam pekat. Hanya semangat dan keinginan untuk hidup yang kuat mebuatnya mampu bertahan, sebelumnya akhirnya tertidur sambil terapung-apung. Atau mungkin lebih tepat dia pingsan.
Hari telah beranjak siang ketika tersadar. Rupanya dia terdampar di sebuah pulau kecil. Beberapa pohon kelapa tumbuh di pulai ini. Juga beberapa pohon dan tumbuh-tumbuhan lainnya. Ada harapan untuk menyambung hidup.
Hari berganti hari. Bulan demi bulan pun berlalu, tak jua ada pertolongan datang. Tidak nampak kapal yang lewat, tidak juga pesawat terbang. Pakaian satu-satunya yang dikenakan sudah hancur, tidak jelas lagi bentuk dan rupanya. Rambutnya lebat panjang dan berantakan. Wajahnya bercambang, gelap dan sangar. Yusuf tidak putus asa. Dengan apa yang ada di pulau itu dia bangun sebuah gubuk kecil untuk berlindung dari terpaan panas pada siang hari, dan gigitan udara dingin pada malam hari. Gubuk yang sangat sederhana tetapi mampu melindungi dari terpaan angin malam. Tuhan, mudah-mudahan segera datang pertolongan, doanya.
Pagi itu Yusuf seperti biasa menyusuri pulau kecil itu untuk mencari buah-buahan. Buah apa saja, yang penting bisa untuk bertahan menyambung hidup. Nampaknya ini musim kemarau karena beberapa hari tidak pernah turun hujan, dan pepohonan nampak mulai mengering. Buah-buahan menjadi semakin sulit. Harapan terakhir adalah buah kelapa. Tiba-tiba terlihat asap tebal membubung tinggi dari arah guguknya. Oh tidak, hatinya cemas. Yusuf lari pulang secepatnya. Tidak peduli semak belukar menggores kulitnya yang kini telah semakin kasar. Dia terus berlari. Pandangannya ke atas, ke arah datangnya asap itu. Sambil berdoa, semoga Tuhan tidak membuatnya susah lagi kali ini.
Benar saja, rupanya gubuk yang telah susah payah dibuatnya kini habis terbakar. Matanya kini nanar. Pandangannya kabur. Air matanya tumpah. Terguguk. Meraung-raung. Berteriak-teriak. Pupus sudah kepercayaannya. Hei, Tuhan, Kamu sungguh tidak adil. Kamu sudah buat aku terdampar di pulau menyedihkan ini. Sekarang, gubuk satu-satunya yang aku buat dengan susah payah Kau buat terbakar. Sungguh Engkau tidak adil..huaaahuaahuaaaaaaa....
Buk..pingsan...
Ketika tersadar, Yusuf telah berada di sebuah pembaringan kapal besar milik tentara angkatan laut. Dia terbaring lemah. Sambil terheran-heran dipandangi sekelilingnya. Dirinya sendiri telah lebih bersih dan luka-luka yang masih terasa peris telah diobati dan diperban.
Ketika seorang kelasi datang mendekat membawakan makan untuknya, segera dia bertanya: “Pak, terakhir yang saya ingat, tadi saya sedang bersedih karena gubuk saya terbakar. Sekarang tiba-tiba sudah di kapal ini dengan kondisi yang begini. Bisa tolong jelaskan apa yang terjadi Pak?”
“Iya Pak, tadi kami sedang berpatroli rutin. Tiba-tiba dari kejauhan kami melihat ada asap tinggi mengepul. Kapten memerintahkan kapal ini untuk mengarah ke asal asap. Ternyata di pulau kecil itu kami temukan Bapak sedang pingsan. Dokter sudah memeriksa kondisi kesehatan Bapak. Di samping luka-luka, Bapak juga kekurangan gizi. Tapi jangan kuatir Pak, kapal ini menyediakan semua keperluan Bapak.”
Yusuf tertegun. Dia masih ingat betul makiannya kepada Tuhan. Ternyata Tuhan memang adil dengan caranya sendiri. Dia kini menyesali kata-katanya.
*) Seperti diceritakan oleh Ibu Lanny Budiati, fasilitator training 7 Habits di Hotel Yasmin, Puncak, Cianjur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar