(Sebuah pelajaran dari ulat dan kupu-kupu)
Monster kecil. Barangkali itu julukan yang cukup mewakili apabila melihat reaksi seseorang ketika melihat seekor
ulat. Terlebih bila dia seorang perempuan. Reaksi pertama adalah menjerit kemudian pergi menghindar. Antara kaget, takut, dan jijik jadi satu.
Ulat, apapun jenisnya, rupanya tetap saja menjijikkan. Apalagi ulat bulu. Ukurannya yang lebih besar dibanding ulat yang lain, bulu-bulunya yang hitam lebat bisa membuat bulu kuduk berdiri. Merinding. Adalagi ulat yang biasa hidup di pohon jambu, berwarna hijau, lebih besar lagi dari ulat bulu, jedung namanya. Walau tidak berbahaya, tidak menimbulkan gata-gatal, tetap saja menyeramkan.
Ulat, sepanjang hari pekerjaannya hanya makan, makan, dan makan. Tidak ada lagi. Sepertinya mereka mempunyai target khusus yaitu menghabiskan semua dedaunan di pohon yang mereka tempati. Monster yang sangat rakus, begitulah kesimpulannya.
Tetapi ketika ulat harus bertransformasi menjadi makhluk baru, mereka rela mengurung diri dalam kepompong dan berpuasa selama berhari-hari. Lalu berubahlah ulat yang buruk rupa dan menjijikkan itu seekor kupu-kupu yang cantik dan menawan. Semua orang suka memandangnya. Bahkan banyak sastrawan dan pencipta lagu mengabadikan kupu-kupu dalam karya-karya mereka.
Puasa, ada pelajaran yang bisa kita petik dari ulat. Ketika sebelas bulan manusia melulu menggapai kehidupan duniawi – bahkan terkadang tak ubahnya seperti monster – maka bulan puasa semestinya bisa menjadikan manusia bertransformasi menjadi makhluk baru, makhluk yang indah, enak dilihat, enak didengar kata-katanya, semakin peduli dengan sekitarnya. Pendeknya, puasa semestinya menjadikan manusia bermetamorfosa.
Bedanya, kupu-kupu akan kembali menebarkan telur-telur di pepohonan untuk menjadi ulat-ulat baru, monster-monster baru. Manusia, semestinya menebarkan kedamaian dan kasih sayang.
(Pernah dikirim masif via e-mail menjelang lebaran tahun 2008)
Monster kecil. Barangkali itu julukan yang cukup mewakili apabila melihat reaksi seseorang ketika melihat seekor
ulat. Terlebih bila dia seorang perempuan. Reaksi pertama adalah menjerit kemudian pergi menghindar. Antara kaget, takut, dan jijik jadi satu.
Ulat, apapun jenisnya, rupanya tetap saja menjijikkan. Apalagi ulat bulu. Ukurannya yang lebih besar dibanding ulat yang lain, bulu-bulunya yang hitam lebat bisa membuat bulu kuduk berdiri. Merinding. Adalagi ulat yang biasa hidup di pohon jambu, berwarna hijau, lebih besar lagi dari ulat bulu, jedung namanya. Walau tidak berbahaya, tidak menimbulkan gata-gatal, tetap saja menyeramkan.
Ulat, sepanjang hari pekerjaannya hanya makan, makan, dan makan. Tidak ada lagi. Sepertinya mereka mempunyai target khusus yaitu menghabiskan semua dedaunan di pohon yang mereka tempati. Monster yang sangat rakus, begitulah kesimpulannya.
Tetapi ketika ulat harus bertransformasi menjadi makhluk baru, mereka rela mengurung diri dalam kepompong dan berpuasa selama berhari-hari. Lalu berubahlah ulat yang buruk rupa dan menjijikkan itu seekor kupu-kupu yang cantik dan menawan. Semua orang suka memandangnya. Bahkan banyak sastrawan dan pencipta lagu mengabadikan kupu-kupu dalam karya-karya mereka.
Puasa, ada pelajaran yang bisa kita petik dari ulat. Ketika sebelas bulan manusia melulu menggapai kehidupan duniawi – bahkan terkadang tak ubahnya seperti monster – maka bulan puasa semestinya bisa menjadikan manusia bertransformasi menjadi makhluk baru, makhluk yang indah, enak dilihat, enak didengar kata-katanya, semakin peduli dengan sekitarnya. Pendeknya, puasa semestinya menjadikan manusia bermetamorfosa.
Bedanya, kupu-kupu akan kembali menebarkan telur-telur di pepohonan untuk menjadi ulat-ulat baru, monster-monster baru. Manusia, semestinya menebarkan kedamaian dan kasih sayang.
(Pernah dikirim masif via e-mail menjelang lebaran tahun 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar