Pagi itu Cik Lan terlihat gelisah. Sebentar-sebentar pandangannya dilemparkan jauh ke sudut jalan. Sesekali dia keluar, di trotoar dia pandangi lama arah alun-alun, lalu berbalik ke arah pasar. Sepertinya belum ditemukan yang dia cari. Sedikit bergeser dia pandangi arah terminal lama. Nihil. Ke arah Sayangan, nihil juga. Dia masuk lagi. Begitu berulang-ulang.
Koh Tiong, suaminya, bukan tidak tahu dengan tingkah laku istrinya. Dia pura-pura asyik baca koran. "Papi, memang Papi ndak liak Yu Tinuk. Apa dia ndak jualan lagi ya. Piye ini....?"
Suaminya bergeming. Dia maklum. Apapun jawabannya, pasti istrinya akan bicara lebih panjang lagi.
"Masak sih Papi da situ dari tadi kok isa ndak liak? Papi ini memang kebangeten tenan kok. Mami sudah tiga hari ndak ngerasakke nasi jagunge Yu Tinuk. Sudah kangen sama pecel, peyek, sama tempe baceme Yu Tinuk...."
"Mi, mBak Yah kan sudah masak dari subuh tadi to. Lengkap. Opor ayam senengane Mami juga ada. Wis, Mami sarapan wae sana...."
Cik Lan cemberut, tapi akhirnya dia turut juga kata-kata suaminya.
Sementara itu Tinuk baru selesai menyiapkan dagangannya. Tiga hari kemarin memang dia tidak berjualan. Mas Jono, begitu dia memanggil suaminya, sakit. Begitu Jono sudah terlihat agak sembuh, Tinuk memberanikan diri jualan lagi.
"nDoro Yuk, peceeeeeeeeeel". Teriakan Tinuk mengagetkan Cik Lan yang baru saja menyelesaikan sarapan pagi. Buru-buru dia lari ke depan.
"Eeeeeeeeeee, kemana wae to kok ndak ketok-ketok. Tiga hari aku nyari situ. Sampai mumet aku, saking ndak isa nahan kepingin nasi jagung. Wis ayo bawa ke dalam wae. Itu Papine juga wis kangen tapi ethok-ethok ndak pengin."
Tinuk bergegas masuk dengan bawaannya. Di ruang tengah yang cukup luas terdapat meja ping pong di tengah ruangan. Koh Tiong sedang asyik membaca koran di salah satu sisi meja.
"Eee, nDoro Yuk lanang, nuwun sewu ya. Ini saya sudah jualan lagi. Mau pecelnya ndak?" seru Tinuk.
"Kemana saja Yu, kok ndak ketok-ketok. Itu Mamine Sian Lie wis koyo orang linglung wae nyari situ."
"Iya, saya nggak jualan tiga hari. Bapakne mriang. Masuk angin. Enggak tegel saya ninggal sendiri. Ya ini kesiangan karena harus ngopeni Bapakne dulu."
“Ooooo, sama. Si Robby, adike Sian Lie wingi juga begitu. Sama Mamine dah dikasih obat sama vitamin. Katane dokter kena radang tenggorokan. Infeksi saluran pernapasan. nDak masuk sekolah dua hari. Memang sekarang ini lagi musime kok Yu. Wis ndak pa pa. Wis dibawa ke dokter belum?”
“Lha wong diajak ke Puskesmas Bapakne itu nggak mau kok. Minta dikerok. Yo wis, tak kerok wae. Ini pecele seperti biasane to..??”
“Iya Yu... Aku ki juga ndak habis pikir, lha wong Mamine itu njagani anak-anak ya tenanan lho. Pulang pergi sekolah yo sama Slamet. Mestine ya ndak kena debu. Lha ndek sekolahan itu lingkungane bersih. Kantine bersih. Kok ya isa sakit. Sambele jangan akeh-akeh Yu... Gek rada ndak enak perute..”
“Nek Bapakne itu ketoke kekeselen kok. Lha piye, sekarang apa-apa mahal. Mau masukke sing mbarep ke SMP biayane banyak banget. Ya terpaksa Bapakne nariknya lembur saben hari. Belum biaya adik-adike itu. Saya sudah ngrewangi begini ya mangsih kurang. Untunge anake saya itu bisa ngerti orang tua. Nggak macem-macem. Sekolahe ya rajin. Malah kemarin dia bilang gurune lagi ngajukan bea siswa. Wah jan seneng banget saya... Peyeke tinggal ini lho ya. Meh disambeli nggak..? ”
“nDak usah yu. Itu Mamine sing seneng bacem.”
“Iya Yu. Nasi jagunge jangan akeh-akeh. Ndak usah pakai sambel sik. Apa dikasih sedikit wae. Lagi musim sakit je. Lha itu Mamine Benny bar ngebel katane si Benny juga sakit. Ngerti Benny to Yu..? Itu lho sing da rumahe ada parabolane gede itu lho.. Cepake Saudara itu lho.. Wis sambele segitu wae. Tempe mbek tahu baceme dimasukke rantang sini wae. Nanti mulih sekolah Sian Lie rak mesti seneng banget. Bungkuske nasi jagung komplit satu Yu. Ben nanti dikasihke Slamet. Mbak Yah..., ini nasi jagung nanti tolong dikasihke Slamet ya.. Wis semua Yu. Dietung sik. Ini uange..”
Sepeninggalan Tinuk, Cik Lan segera membongkar nasi Jagung.
“Lho Mami kan habis sarapan. Apa ya ndak kewaregen? Lha wong Papi wae yang belum sarapan malah ndak disiapke..”
“Lha ini meh nyiapke gawe Papi to. Sisan tak temeni. Lha wong sudah kangen tenan sama nasi jagunge je Pi... Ndak pa pa kan yah segini sarapane sudah dua kali..”
“Si Robby mbesuk bisa masuk sekolah to? Nek ndak masuk apa ya ndak ketinggalan pelajaran akeh..?”
“Anakmu sing satu itu memang hebat kok. Ben dia ndak masuk tetap ajar terus. Mbaca terus saben hari.”
“bersyukur ya Mi kita diberi rejeki lebih. Orang-orang seperti Yu Tinuk itu masih akeh lho Mi.”
Cik Lan hanya mengangguk dan tersenyum. Hari itu dia mendapati dua hal, nasi jagungnya terpenuhi dan pelajaran tentang rasa syukur. Yu Tinuk..Yu Tinuk...batinnya sambil geleng-geleng kepala. Entah apa lagi yang ada dibenaknya.
DUKA PAK ABDURAHMAN SI PENJUAL KORAN
Sahabatku...sekali waktu, cobalah kita perhatikan tubuh kita yg terlihat dari ujung rambut hingga ujung kaki, betapa sempurnanya Allah menciptakan kita.
Andai salah satu saja bagian tubuh kita tidak ada, betapa rumitnya hidup yang akan kita hadapi kendati pun kita tetap mampu bertahan hidup tanpa salah satu bagian tubuh kita.
Bersyukur kita yang diberi anugerah oleb Allah dengan anggota badan yang lengkap.
Bersyukur kita yang diberi Allah dengan rizki lebih. Bersyukur kita kepada Allh yang memberi pekerjaan yang baik.
Tapi tidak untuk Pak Abdurahman.
Segala keterbatasan telah menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari, akibat dari kanker yang dideritanya beliau harus rela kehilangan hidung. Penghasilannya sebagai seorang penjual koran di pompa bensin di daerah Kasablanka, Jakarta Selatan hanya cukup untuk sekedar makan sehari-hari.
Namun demikian, dengan segala keterbatasannya itu tidak menjadikan Pak Abdurahman mempunyai niat untuk menjadi pengemis atau peminta-minta. Tidak.! Baginya bekerja adalah wajib hukumnya. Tak peduli berapapun riski yang didapatkan. Bersyukur karena ia sering mendapatkan uang lebih dari mereka yang membeli koran dan merelakan uang kembalian.
Namun begitu menjelang lebaran ini Pak Abdurahman berharap dapat membelikan baju baru dan ketupat lebaran buat keluarganya.
Syukur-syukur ada uang lebih untuk ia bisa kembali berobat. Hidungnya yang sumbing dan hanya ditutup dengan plester membuat orang menjadi tidak tega untuk memandangnya.
Sahabat..yuk lakukan kabaikan meskipun orang lain tak membalasnya dengan hal serupa. Kita niatkan segala kabaikan hanya untuk menggapai ridho Allah semata.
Untuk sahabat yang Allah lebihkan rezekinya, silakan bila ingin membantu bisa transfer melalu rekening milik pengelola Musholla BCA UBKK Wisma Pondok Indah
No. 035-611 2622 atas nama Eko Supriyanto.
Dalam salah satu foto Pak Abdurahman berdampingan dengan Sdr. Arief Fauzi (Benzo), salah seorang aktifis di komunitas Pengajian Al`Quran Learning Musholla BCA UBKK Wisma Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Contact Person:
0816811330 (joko) atau
08990773322 (eko)
MULIA KITA DENGAN MEMBERI, ABADIKAN HARTA KITA DENGAN SEDEKAH, TAK AKAN JATUH MISKIN ORANG YANG BERSEDEKAH, DAN TAK AKAN TAMBAH KAYA ORANG YANG MENAHAN HARTANYA
RAMADHAN, SAATNYA MENGUMPULKAN BEKAL BUKAN MENAMBAH BEBAN, AYO KITA BORONG SELURUH AMAL SHOLEH DI BULAN MULIA INI
Sekecil apapun bantuan Anda sangat berarti buat pak Abdurahman, semoga kerelaan Anda akan meringankan beban penderitaanNya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar