Kethoprak Temanggungan
Oleh: Joko Suseno
Bayangan hitam itu berkelebat sangat cepat. Ilmu meringankan tubuhnya sangat hebat. Joko Sindoro terkesiap. Berdiri bulu kuduknya. Bukan karena takut, namun karena dia begitu mengenal sosok bayangan itu. Ya, dia adalah Aryo Sumbing, adik seperguruannya. Yang lebih membuat dia terkejut adalah dari mana arah bayangan itu berasal. Joko Sindoro yakin benar bayangan itu berkelebat dari arah kamar Dewi Sekar Alun, kekasihnya.
Di padepokan Waringin Jajar ini Joko Sindoro memang murid tertua Resi Duparada. Hampir semua ilmu sang resi sudah dikuasainya. Kedekatan dengan sang resi juga yang memudahkan dia mendekati anak semata wayangnya. Dia adalah Dewi Sekar Alun yang menjadi kembang sepadepokan. Bahkan kembang sekadipaten. Beruntunglah Joko Sindoro yang telah memenangkan hati Sekar Alun.
Aryo Sumbing adalah murid baru. Dia putra seorang pejabat tinggi di kerajaan. Senopati Girinata. Dia adalah kakak seperguruan Resi Duparada. Sejatinya sang resi tahu tentang ketinggian ilmu yang telah dimiliki Aryo Sumbing. Semula dia ingin menolak. Namun karena pesan Girinata agar bisa lebih mendekatkan anaknya dengan masyarakat kadipaten, tak kuasa juga untuk menolaknya. Sang resi tahu bahwa kakak seperguruannya sedang menyiapkan putranya untuk menjadi adipati.
Malam itu Joko Sindoro tak bisa memejamkan mata. Dia terus memikirkan apa yang sesungguhnya terjadi. Ah, apakah Sekar Alun setega itu? Kenapa pula Aryo Sumbing seberani itu? Atau apa yang aku tidak ketahui? Ah, besok pagi aku harus menghadap guru, begitu batinnya. Dia tidak menyesal tidak mengejar bayangan itu. Dia yakin sosok bayangan itu juga telah mengetahui kehadirannya.
Matahari sudah setinggi dua tombak ketika seorang cantrik membangunkannya. Resi Durapada memintanya menghadap sekarang. Ah, keduluan dia rupanya. Sekarang dia kembali terkejut. Kenapa pula dengan gurunya ini?
Cantrik mengantarnya ke teras timur padepokan. Di sana gurunya sudah menunggu. Sekar Alun dan Aryo Sumbing juga ada di sana. Berdebar kencang jantungnya. Antara amarah yang memuncak kepada Aryo Sumbing dan tanda tanya besar atas panggilan gurunya.
Joko Sindoro membungkuk hormat kepada gurunya. Aryo Sumbing menatapnya. Tatapan yang berani. Bahkan terkesan sombong. Sementara Sekar Alun hanya menunduk. Tidak ada air mata. Tidak tampak penyesalan. Ah, semua menjadi jelas sekarang.
“Ngger, anakku Joko Sindoro. Jangan terkejut aku memanggilmu menghadap. Aku tidak ingin berpanjang kata. Kakang Girinata sudah mengirim utusan kepadaku. Sang Prabu sudah memutuskan, bahwa sepeninggalan Kanjeng Adipati yang tidak meninggalkan satu orang anakpun, maka harus ditunjuk Adipati baru. Syarat adipati baru itu harus sudah beristri. Atas permintaan Kakang Girinata, Sang Prabu setuju untuk mengangkat adik seperguruanmu, Aryo Sumbing. Dan atas permintaan Kakang Girinata pula aku setuju untuk menikahkan adikmu, Sekar Alun dengan Aryo Sumbing.”
Joko Sindoro tidak lagi mendengar kalimat berikutnya. Dadanya berguncang hebat. Nafasnya tercekat. Keringatnya mengalir deras. Lalu semua menjadi gelap. Joko Sindoro tak sadarkan diri.
Bersambung dengan judul “Ontran-ontran di Kadipaten Menoreh” dan “Dendam Joko Sindoro” . Insya Allah.
Oleh: Joko Suseno
Bayangan hitam itu berkelebat sangat cepat. Ilmu meringankan tubuhnya sangat hebat. Joko Sindoro terkesiap. Berdiri bulu kuduknya. Bukan karena takut, namun karena dia begitu mengenal sosok bayangan itu. Ya, dia adalah Aryo Sumbing, adik seperguruannya. Yang lebih membuat dia terkejut adalah dari mana arah bayangan itu berasal. Joko Sindoro yakin benar bayangan itu berkelebat dari arah kamar Dewi Sekar Alun, kekasihnya.
Di padepokan Waringin Jajar ini Joko Sindoro memang murid tertua Resi Duparada. Hampir semua ilmu sang resi sudah dikuasainya. Kedekatan dengan sang resi juga yang memudahkan dia mendekati anak semata wayangnya. Dia adalah Dewi Sekar Alun yang menjadi kembang sepadepokan. Bahkan kembang sekadipaten. Beruntunglah Joko Sindoro yang telah memenangkan hati Sekar Alun.
Aryo Sumbing adalah murid baru. Dia putra seorang pejabat tinggi di kerajaan. Senopati Girinata. Dia adalah kakak seperguruan Resi Duparada. Sejatinya sang resi tahu tentang ketinggian ilmu yang telah dimiliki Aryo Sumbing. Semula dia ingin menolak. Namun karena pesan Girinata agar bisa lebih mendekatkan anaknya dengan masyarakat kadipaten, tak kuasa juga untuk menolaknya. Sang resi tahu bahwa kakak seperguruannya sedang menyiapkan putranya untuk menjadi adipati.
Malam itu Joko Sindoro tak bisa memejamkan mata. Dia terus memikirkan apa yang sesungguhnya terjadi. Ah, apakah Sekar Alun setega itu? Kenapa pula Aryo Sumbing seberani itu? Atau apa yang aku tidak ketahui? Ah, besok pagi aku harus menghadap guru, begitu batinnya. Dia tidak menyesal tidak mengejar bayangan itu. Dia yakin sosok bayangan itu juga telah mengetahui kehadirannya.
Matahari sudah setinggi dua tombak ketika seorang cantrik membangunkannya. Resi Durapada memintanya menghadap sekarang. Ah, keduluan dia rupanya. Sekarang dia kembali terkejut. Kenapa pula dengan gurunya ini?
Cantrik mengantarnya ke teras timur padepokan. Di sana gurunya sudah menunggu. Sekar Alun dan Aryo Sumbing juga ada di sana. Berdebar kencang jantungnya. Antara amarah yang memuncak kepada Aryo Sumbing dan tanda tanya besar atas panggilan gurunya.
Joko Sindoro membungkuk hormat kepada gurunya. Aryo Sumbing menatapnya. Tatapan yang berani. Bahkan terkesan sombong. Sementara Sekar Alun hanya menunduk. Tidak ada air mata. Tidak tampak penyesalan. Ah, semua menjadi jelas sekarang.
“Ngger, anakku Joko Sindoro. Jangan terkejut aku memanggilmu menghadap. Aku tidak ingin berpanjang kata. Kakang Girinata sudah mengirim utusan kepadaku. Sang Prabu sudah memutuskan, bahwa sepeninggalan Kanjeng Adipati yang tidak meninggalkan satu orang anakpun, maka harus ditunjuk Adipati baru. Syarat adipati baru itu harus sudah beristri. Atas permintaan Kakang Girinata, Sang Prabu setuju untuk mengangkat adik seperguruanmu, Aryo Sumbing. Dan atas permintaan Kakang Girinata pula aku setuju untuk menikahkan adikmu, Sekar Alun dengan Aryo Sumbing.”
Joko Sindoro tidak lagi mendengar kalimat berikutnya. Dadanya berguncang hebat. Nafasnya tercekat. Keringatnya mengalir deras. Lalu semua menjadi gelap. Joko Sindoro tak sadarkan diri.
Bersambung dengan judul “Ontran-ontran di Kadipaten Menoreh” dan “Dendam Joko Sindoro” . Insya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar