Namaku Gudam Garang. Panggil saja Gudam. Umurku 50 tahun lebih. Bisnisku membunuh. Ya, membunuh. Membunuh orang. Aku tidak sendirian. Jaringanku sangat luas. Istriku, Milda Soemparna, adalah partner utamaku. Mertuaku, Emha Soemparna, cukup lama mendidiknya untuk menguasai bisnis ini. Bisnis membunuh.
Di bisnis ini aku punya banyak pesaing yang sekaligus menjadi kolega. Sebut saja Djuram Koclat, Boentel Briu, dan Djoe Samsi. Mereka ini orang-orang lama yang sudah sangat menguasai medan. Bersama-sama kami membentuk kartel yang bisa menentukan bisnis ini. Ya, kartel. Karena dalam bisnis ini butuh banyak bahan baku untuk membuat racun yang disebut korok dari tanaman bernama mbetakau. Kamilah yang menentukan harga beli, kami juga yang menentukan mutu daun mbetakau ini. Semua kami yang menentukan. Petani, biarlah mereka menderita dengan mimpi dan harapan agar harga daun mbetakau bisa setinggi langit.
Meski bisnisku membunuh, namun tidak seorangpun pernah menuntutku. Semua birokrat sudah aku kuasai. Bupati, Gubernur, Menteri. Semua. Mereka semua teman-temanku. Mereka tidak akan pernah menggangguku. Bahkan presiden pun tidak akan. Tidak akan pernah. Di mata mereka aku adalah dermawan. Aku adalah pahlawan. Mau bikin even apa saja mereka akan mencariku. Liga sepak bola, basket, tinju atau apa sajalah. Semua kegiatan olah raga bisa aku sponsori. Orang selalu berfikir bahwa aku sangat berjasa dalam menyehatkan bangsa ini. Juga konser-konser besar. Pasti ada campur tanganku di situ. Paling tidak pasti ada kolegaku.
Tentang bisnisku, sesungguhnya ini memang keahlian turun temurun. Orangtuaku mengajariku meracik dan mengemas sedemikian rupa sehingga orang-orang akan menyukai racun yang aku buat itu. Tak lupa aku mesti pasang iklan sangat gencar. Besar-besaran. Bahkan untuk biaya iklan ini aku rela menghabiskan uang milyaran rupiah. Tidak masalah. Karena keuntungan sudah menunggu di depan mata. Tidak dalam tempo lama keuntungan yang akan aku raih bisa berpuluh-puluh kali lipat. Bahkan ribuan kali lipat. Dan orang-orang tidak pernah merasa bahwa secara pelan-pelan aku telah membunuh ayah mereka, saudara mereka, anak-anak mereka. Mereka tidak akan pernah menyadari, karena yang mereka tahu keluarga yang sakit dan kemudian meninggal itu hanya karena sakit jantung, paru-paru, atau kanker. Mereka tidak pernah tahu akulah yang telah meracuni mereka.
Bahkan dari bisnis membunuh orang pun aku bisa menjadi orang kaya. Saat ini aku dan Djuram masih menjadi orang terkaya di negeri ini. Sementara di mata orang-orang, aku adalah pahlawan yang sangat berjasa memakmurkan negeri ini. Sesungguhnyalah aku adalah pembunuh berdarah dingin.
Namaku Gudam. Ya, aku Gudam Garang. Aku si pembunuh itu.
Di bisnis ini aku punya banyak pesaing yang sekaligus menjadi kolega. Sebut saja Djuram Koclat, Boentel Briu, dan Djoe Samsi. Mereka ini orang-orang lama yang sudah sangat menguasai medan. Bersama-sama kami membentuk kartel yang bisa menentukan bisnis ini. Ya, kartel. Karena dalam bisnis ini butuh banyak bahan baku untuk membuat racun yang disebut korok dari tanaman bernama mbetakau. Kamilah yang menentukan harga beli, kami juga yang menentukan mutu daun mbetakau ini. Semua kami yang menentukan. Petani, biarlah mereka menderita dengan mimpi dan harapan agar harga daun mbetakau bisa setinggi langit.
Meski bisnisku membunuh, namun tidak seorangpun pernah menuntutku. Semua birokrat sudah aku kuasai. Bupati, Gubernur, Menteri. Semua. Mereka semua teman-temanku. Mereka tidak akan pernah menggangguku. Bahkan presiden pun tidak akan. Tidak akan pernah. Di mata mereka aku adalah dermawan. Aku adalah pahlawan. Mau bikin even apa saja mereka akan mencariku. Liga sepak bola, basket, tinju atau apa sajalah. Semua kegiatan olah raga bisa aku sponsori. Orang selalu berfikir bahwa aku sangat berjasa dalam menyehatkan bangsa ini. Juga konser-konser besar. Pasti ada campur tanganku di situ. Paling tidak pasti ada kolegaku.
Tentang bisnisku, sesungguhnya ini memang keahlian turun temurun. Orangtuaku mengajariku meracik dan mengemas sedemikian rupa sehingga orang-orang akan menyukai racun yang aku buat itu. Tak lupa aku mesti pasang iklan sangat gencar. Besar-besaran. Bahkan untuk biaya iklan ini aku rela menghabiskan uang milyaran rupiah. Tidak masalah. Karena keuntungan sudah menunggu di depan mata. Tidak dalam tempo lama keuntungan yang akan aku raih bisa berpuluh-puluh kali lipat. Bahkan ribuan kali lipat. Dan orang-orang tidak pernah merasa bahwa secara pelan-pelan aku telah membunuh ayah mereka, saudara mereka, anak-anak mereka. Mereka tidak akan pernah menyadari, karena yang mereka tahu keluarga yang sakit dan kemudian meninggal itu hanya karena sakit jantung, paru-paru, atau kanker. Mereka tidak pernah tahu akulah yang telah meracuni mereka.
Bahkan dari bisnis membunuh orang pun aku bisa menjadi orang kaya. Saat ini aku dan Djuram masih menjadi orang terkaya di negeri ini. Sementara di mata orang-orang, aku adalah pahlawan yang sangat berjasa memakmurkan negeri ini. Sesungguhnyalah aku adalah pembunuh berdarah dingin.
Namaku Gudam. Ya, aku Gudam Garang. Aku si pembunuh itu.